Ukuran Font Artikel
Small
Medium
Large

Ketika Seniman Membunuh Karya Seni

insiden hari tari sedunia tugu digulis untan pontianak

Meletakkan KEBEBASAN dan merekonstruksi PERSEPSI tentang KARYA SENI

Melihat insiden pada Hari Tari Sedunia yang gelar oleh kawan-kawan Prodi Seni Untan Pontianak di dekat Tugu Digulis (29/4/2019), sekiranya perlu kita tinjau ulang mengenai persepsi bagaimana bentuk dari kesenian itu sendiri. Hal ini penting dilakukan, karena kebanyakan masalah deskriminasi seni itu terjadi karena perbedaan persepsi dalam memandang bentuk seni.

Satu sisi seniman perlu menafsir situasi yang dilihat, dirasakan, dan disimpulkan untuk dijadikan ide penciptaan sebuah karya. Selanjutnya seniman mengkondisikan fenomena sosial atau pengalamannya kedalam sebuah karya. Pada satu sisi adanya norma sosial yang juga harus dilihat dan disesuaikan oleh seniman, terkait untuk siapa karya itu dipertontonkan, dimana karya itu akan digelar, sejauh mana muatan pendidikan moral dan pengetahuan nilai (terkait budaya) dapat ditransfer kepada publik. Pada sisi lainnya seniman juga harus berpikir bagaimana publik menerima dan menilai karya seni yang dibuatnya.

Sebuah karya dibuat tentunya merujukan pada nilai keindahan. Nilai keindahan dalam seni itu relative yang nantinya bersinggungan dengan selera publik yang menikmatinya.  Bagaimanapun karya seni itu akan menyampaikan pesan, sejauh pesan itu berupa fenomena sosial, pengalaman pribadi, maupun hanya mengedepankan alasan keindahan semata. Penyampaian itulah yang  masuk dalam ranah pendidikan, karena dalam penyampaian makna, seniman berusaha membuka persepsi publik untuk membaca (bukan hanya sekedar menerima saja). Penyampaian pesan dalam bentuk karya inilah yang banyak disalah-diartikan. Karena kebanyakan dibenturkan dengan kaidah norma dan hukum yang berlaku pada suatu masyarakat. Fenomena ini sudah lama menjadi gunung es, dan siap runtuh menimpa kesenian yang akhirnya dapat menenggelamkan perkembangan seniman dan kesenian itu sendiri.

MELURUSKAN PERSEPSI

Memandang pulgaritas dalam seni itu seharusnya merujuk dimana kesenian itu tumbuh dan berkembang. Kita tidak bisa mengeksekusi suatu bentuk kesenian itu pulgar jika hanya melihat penari dengan baju lengan pendek dan rok sebatas lutut. Akhirnya tari Dayak nantinya bisa dianggap melanggar hukum dan norma. Kita tidak bisa membandingkan karya atau satu kesenian dengan kesenian lain. Namun kita hanya bisa membaca nilai dibalik karya seni atau kesenian tradisi.

Sebagai contoh lagi, kita tidak bisa memvonis orang Papua menari dengan hanya menggunakan Koteka, karena budaya mereka memang demikian. Suka tidak suka, nyaman tidak nyaman pakaian mereka seperti itu. Kita tidak bisa mengusik kenyamanan keadaan jika mereka menggunakan kostum dalam menari seperti tiu. Itu bukan pulgar, namun budaya yang mereka miliki. Tidak bijak bukan kalau kita bilang pulgar.

Sama halnya dengan masalah LGBT dalam kesenian. Kenyataannya memang penari itu ada manusia normal, namun ada juga bencong atau gay. Namun kita tidak bisa menyalahkan mereka ketika ikut belajar tari dan menari, karena itu hak bagi setiap manusia. Semua manusia boleh menari untuk mengekspresikan keindahan sesuai penangkapan indera dan pemikirannya. Artinya manusia mana saja boleh menari dan itu hak bagi setiap manusia.

MEMAHAMI KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM SENI

Seni merujuk pada bahasa keindahan. Dalam berekspresi ada kebebasan. Nah kebebasan inilah yang banyak disalah artikan. Berkesenian itu memang bebas dalam membuat karya dan pada kenyataannya hukum salah dan benar itu kabur bila kita membenturkan dengan kebebasan absolut. Bebas bukan berarti sebebas-bebasnya sehingga melupakan norma. Hal ini karena, ketika karya seni itu diangkat ke wilayah publik, ada suatu hal yang perlu dipandang, yaitu norma yang berlaku.

Kalian boleh saja menari dan bercerita tentang cinta, namun tidak harus mengekspresikannya dengan adegan vulgar atau kostum yang sengaja dibikin sangat terbuka. Disinilah seniman harus pintar mentranformasi kebutuhan untuk sebuah karya. Karena bila kepulgaran itu sengaja dibuat, bahkan dibuat terlalu vulgar, maka kalian sama saja tidak menghormati hak publik yang mempunyai norma dan menyepakatinya. Seniman sama saja melecehkan seni itu sendiri, karena menempatkan seni dimedan pertempuran opini. Ingat... seniman bebas dalam berkarya, namun publik juga bebas menafsir kesenian yang anda tampilkan. Berbeda ketika kesenian itu dipentaskan khusus untuk ujian atau disaksikan oleh kalangan tertentu yang memahami seni secara mendalam.

Ketika Vulgaritas itu terlalu di eksplor sampai kebablasan, maka itu namanya mengeksploitasi kesenian. Tampilkan saja secara wajar namun cerdas, karena ketika kesenian itu diapresiasikan kepada audiens, maka di situ secara otomatis ada nilai pendidikan yang merujuk pada tatanan nilai kelayakan. Seniman harus cerdas untuk mengolah karya kreatif agar tidak berbenturan dengan norma itu sendiri. Dengan begitu seniman sudah menempatkan karya seni dengan bijak sesuai kebaikan derajat seni itu sendiri.

Seni jika disandingkan dengan ranah keindahan, salah satu sisinya akan membicarakan erotisme bentuk dalam kesenian itu sendiri. Kita ambil contoh kesenian ronggeng dan jaipong dari Jawa Barat. Ada gerak erotis dalam kesenian tersebut. Nah disini kita sebagai publik jangan memandang itu sebagai erotika liar karena keliaran persepsi otak kita. Hampir semua tradisi tari di nusantara mengandung bentuk erotis. Namun erotisme kesenian itu adalah erotime yang merujuk pada nilai keindahan. Gerakannya juga tidak terlalu di eksploitir sehingga masih dalam koridor layak untuk diapresiasi sebagai bagian dari keindahan. Bila ini dipersepsi melanggar norma, akhirnya kesenian itu harus dihilangkan. Saya rasa kita sudah melanggar kebijakan kita sebagai menusia untuk menghormati budaya dan nilai yang terkandung di dalamnya.

Kasus keanehan akan muncul jika gerak erotis itu dibuat sevulgar mungkin atau dibuat secara over tendensi. Kecenderungan akhirnya mengarahkan gerak erotisme seni menjadi gila lalu dipersepsi publik sebagai ketidak-layakan. Dalam kasus ini, seniman dituntut cerdas dalam menyikapinya. Artinya seniman mempunyai kebebasan membuat karya, namun tidak harus melanggar batas kewajaran agar publik dapat menerima itu sebagai nilai keindahan dan menangkapnya secara layak untuk pendidikan. Jangan beralasan kebebasan namun melupakan kaidah norma, karena norma itu sendiri sebuah nilai untuk memperkuat keindahan itu sendiri. Norma itu juga bagian dari opini publik untuk menjaga keindahan sosial dalam pergaulan masyarakat.

Sangat aneh jika seniman membenturkan keindahan dengan keindahan publik lalu memaksakannya atas dasar kebebasan. Sekali lagi ini bukan kebebasan, namun kebablasan. Saya hanya takut, erotisme keindahan itu malah dihancurkan oleh kesalahan persepsi tentang kebebasan dalam berkarya seni. Kalau sudah begitu apa bedanya tarian itu dengan tari telanjang? Bedanya hanya pada kain yang sedikit dilekatkan pada tubuh penari dan gerak cabul yang dianggap sebagian orang sebagai karya seni.

ASUMSI AKHIR

Akhirnya, salah dan benar itu menjadi kabur dalam pandangan kebebasan, namun akan nyata jika dihadapkan dengan kaidah hukum dan norma. Secara sederhana tidak ada salah atau benar dalam seni, yang ada hanya antara cocok dan tidak cocok. Misal, ada pameran lukisan kaligrafi, tentu tidak akan cocok kalau ditengahnya dipasang lukisan manusia telanjang. Contoh lain lagi, akan terlihat aneh dan sangat konyol kalau ada orang menari melayu dengan baju lengan pendek dan rok selutut. Karena hal itu sudah melanggar norma dan kewajaran dalam tradisi melayu. Maka pintar dan bijaklah dalam menempatkan kebebasan berkarya. Jangan sampai alasan kebebasan itu menempatkan karya seni dimedan pertempuran persepsi. Bila itu dipaksakan, berarti seniman sudah membunuh seni itu sendiri.

Sumber foto : https://www.pontianakpost.co.id/hari-tari-se-dunia-di-bundaran-digulis-diramaikan-anak-muda
Traktir Mbah Dinan kopi klik di sini
atau mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
Hubungi Admin: 0811 5686 886.
Posting Komentar