Konsep Kepercayaan Dayak Kanayatn
Masyarakat Dayak memiliki kepercayaan terhadap wujud tertinggi dimana segala kekuatan yang ada di jagad raya berasal dari Yang Tunggal. Wujud tertinggi itu menguasai manusia, dewa, roh halus, dan roh leluhur. Dewa dan roh halus diberi tugas untuk menjaga dan menguasai suatu tempat tertentu dalam dunia ini, sehingga untuk mewujudkan keyakinan tersebut, orang Dayak senantiasa melakukan hubungan religius dengan Jubata, roh leluhur, dan roh halus yang banyak memberikan pertolongan dalam kehidupan mereka.
Sistem kepercayaan atau agama asli bagi masyarakat Dayak Kanayatn tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai kehidupan mereka. Kepribadian, tingkah laku, sikap, perbuatan dan kegiatan sosial sehari-hari dibimbing, didukung, dan dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan dan ajaran agama, tetapi juga dengan nilai budaya dan etnisitas.
Kompleksitas kepercayaan tersebut berhubungan erat dengan tradisi dalam masyarakat yang mengandung dua hal prinsip, yaitu (1) unsur kepercayaan nenek moyang yang menekankan pada pemujaan, dan (2) kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa dengan kekuasaan tertingginya sebagai kausa prima dari kehidupan manusia (Syarif Ibarahim Al Qadri dalam Paulus Florus, 2005:19). Sistem kepercayaan seperti ini mengandung emosi religius yang merupakan unsur kesatuan dan memerlukan penegasan yang direalisasikan dalam bentuk upacara tersebut.
Kebanyakan orang Dayak tidak mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun sikap keyakinannya tidak dapat dikategorikan dalam animisme, sebab agama justru berkembang dari asumsi dasar bahwa di dalam alam terdapat daya hidup atau kekuatan hidup dalam benda-benda tertentu atau gejala-gejala alam, seperti sungai yang mengalir deras dan bergemuruh, gunung yang tinggi, pohon besar, matahari yang bersinar terang, kilat dan petir yang menyambar dahsyat.
Daya hidup atau kekuatan penghidup itulah yang dinamakan roh. Roh itu kemudian dihubungkan dengan benda-benda dan kemudian dipuja. Alam dipandang sebagai suatu kekuatan yang mengerikan, sekaligus mempesonakan. Keindahannya bukan pertama yang diperhatikan, melainkan kedahsyatan dan kekuasaan tertinggi yang terkandung dalam fenomena alam tersebut.
Bahasa untuk komunikasi yang dipakai pertama-tama adalah lambang-lambang suara dan bunyi-bunyian, seperti musik dan mantra. Maksud lambang-lambang itu sama dengan lambang bahasa, yaitu untuk mengenal, mengidentifikasi, menjinakkan dan menguasai dunia luar yang dahsyat tadi (Dick Hartoko, 1984:23). Melalui bahasa simbol itu masyarakat menginterpretasikan hubungan dan eksistensi dunia gaib yang dipercaya ada untuk dapat dipahami dan diungkapkan maknanya dalam kehidupan di alam nyata.
Selain benda dan gejala alam ada pula benda yang tidak dianggap oleh orang Dayak sebagai daya penghidup, melainkan hanya sebagai sarana penampakan roh, kekuatan gaib, atau sebagai tempat keramat. Manusia menjadi sadar terhadap keberadaan yang sakral, karena yang sakral memanifestasikan dirinya, menunjukkan dirinya sebagai sesuatu yang berbeda secara menyeluruh dari yang profan. Hal ini dinamakan hierophany, yakni sesuatu yang sakral menunjukkan dirinya kepada manusia.
Dari sini dapatlah dikatakan bahwa sejarah agama-agama dari primitif hingga yang paling tinggi dibentuk oleh sebagian besar hierophany, yaitu oleh manifestasi-manifestasi realitas-realitas yang sakral tadi. Misalnya yang sakral dapat mewujud dalam pantak. Pantak itu tidak disembah, tetapi pantak menunjukkan dirinya sebagai suatu yang sakral dan realitas ini dirubah menjadi realitas supranatural.
Masyarakat Dayak Kanayatn menyebut Tuhan Yang Maha Kuasa dengan sebutan Ene’ Daniang atau Jubata, yakni penguasa jagad raya beserta isinya. Jubata berada di langit ketujuh. Ia mempunyai enam bawahan, yaitu; Ne’ Pangedaong, Ne’ Patampa’ yang dipercaya membuat patung-patung dari tanah liat bentuk menyerupai manusia. Ne’ Amikng dan Ne’ Pamijar yang memberi napas kepada manusia. Ne’ Taratatn memberi kesegaran jasmani maupun rohani. Ne’ Pangingu memberikan berkat perlindungan, sedangkan Ne’ Pajaji dipercaya yang menjadikan manusia berbudi dan memelihara hidupnya sampai pada semua keturunannya (Maniamas Miden Sood, 1999:7).
Menurut kisah penciptaan nama-nama bawahan itu adalah nama lain dari Jubata, maksudnya satu pribadi pencipta dengan beberapa nama atau satu nama dengan berbagai sifat-sifat kekuasaanNya. Hal ini sama hal nya dengan nama Allah dalam agama Islam yang mempunyai 99 nama sesuai dengan kekuasaan dan kesempurnaannya.
Masyarakat Dayak Kanayatn meyakini dunia ini terbagi menjadi tiga bagian. Pertama adalah Dunia Atas, yaitu dunia yang ditempati oleh Jubata, dukun, dan nenek moyang yang meninggal sebagai pahlawan. Kedua adalah Dunia Tengah atau dunia fana yang ditempati manusia. Ketiga adalah Dunia Bawah yang dihuni oleh roh orang mati. Dunia Bawah ini merupakan sebuah dunia yang tidak dikenal, terisolasi, dan gelap.
Setelah meninggal, setiap manusia kecuali dukun dan nenek moyang yang meninggal sebagai pahlawan akan menuju dan tinggal disitu selama-lamanya. Begitu juga dengan sumangat (jiwa) orang yang meninggal, ia tidak akan pernah kembali kekehidupan manusia dan tidak pernah pergi kemana-mana. Namun hal tersebut tergantung apakah waktu meninggal orang yang bersangkutan sudah melewati upacara adat kematian atau belum.
Masyarakat Dayak Kanayatn mempercayai adanya setan atau iblis yang disebut Pantokng Bangok Pilas Galikng. Mereka mempercayai jiwa orang jahat akan bangkit dari kuburnya dan menghantui orang yang masih hidup. Hantu semacam ini biasanya dapat menjelma dalam rupa binatang dan manusia, maka untuk menghindari gangguan roh jahat tersebut biasanya mereka memberinya dengan berbagai macam makanan atau sesaji, seperti lamang (ketan), tumpi’ (cucur), minuman, daging babi dan ayam, telur, nasi dan lain sebagainya.
Bagi mereka yang mempunyai pengalaman religius, setiap benda mempunyai kemampuan untuk menjadi perwujudan kesakralan kosmik. Bahkan kosmos ini dalam keseluruhannya dapat menjadi hierophany (Mircea Eliade, terj. Nuwanto, 2002:3-5). Begitu juga yang terjadi pada masyarakat Dayak Kanayatn, mereka tidak menyembah pantak tetapi melihat hierophany atau realitas-realitas sakral dalam pantak tersebut.
Kekuatan sakral tersebut dapat pula digunakan untuk membantu beberapa kegiatan atau pekerjaan manusia, seperti digunakan pamaliatn untuk memanggil roh halus yang kemudian digunakan dimanfaatkan pamaliatn membantunya dalam ritual pengobatan tersebut. Kekuatan-kekuatan ini merupakan sebagian dari hierophany yang dimaksud.
Demikian penjelasan singkat mengenai keparcayaan masyarakat Dayak. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Salam budaya.
Sumber foto : adira.co.id
Sistem kepercayaan atau agama asli bagi masyarakat Dayak Kanayatn tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai kehidupan mereka. Kepribadian, tingkah laku, sikap, perbuatan dan kegiatan sosial sehari-hari dibimbing, didukung, dan dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan dan ajaran agama, tetapi juga dengan nilai budaya dan etnisitas.
Kompleksitas kepercayaan tersebut berhubungan erat dengan tradisi dalam masyarakat yang mengandung dua hal prinsip, yaitu (1) unsur kepercayaan nenek moyang yang menekankan pada pemujaan, dan (2) kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa dengan kekuasaan tertingginya sebagai kausa prima dari kehidupan manusia (Syarif Ibarahim Al Qadri dalam Paulus Florus, 2005:19). Sistem kepercayaan seperti ini mengandung emosi religius yang merupakan unsur kesatuan dan memerlukan penegasan yang direalisasikan dalam bentuk upacara tersebut.
Kebanyakan orang Dayak tidak mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun sikap keyakinannya tidak dapat dikategorikan dalam animisme, sebab agama justru berkembang dari asumsi dasar bahwa di dalam alam terdapat daya hidup atau kekuatan hidup dalam benda-benda tertentu atau gejala-gejala alam, seperti sungai yang mengalir deras dan bergemuruh, gunung yang tinggi, pohon besar, matahari yang bersinar terang, kilat dan petir yang menyambar dahsyat.
Daya hidup atau kekuatan penghidup itulah yang dinamakan roh. Roh itu kemudian dihubungkan dengan benda-benda dan kemudian dipuja. Alam dipandang sebagai suatu kekuatan yang mengerikan, sekaligus mempesonakan. Keindahannya bukan pertama yang diperhatikan, melainkan kedahsyatan dan kekuasaan tertinggi yang terkandung dalam fenomena alam tersebut.
Bahasa untuk komunikasi yang dipakai pertama-tama adalah lambang-lambang suara dan bunyi-bunyian, seperti musik dan mantra. Maksud lambang-lambang itu sama dengan lambang bahasa, yaitu untuk mengenal, mengidentifikasi, menjinakkan dan menguasai dunia luar yang dahsyat tadi (Dick Hartoko, 1984:23). Melalui bahasa simbol itu masyarakat menginterpretasikan hubungan dan eksistensi dunia gaib yang dipercaya ada untuk dapat dipahami dan diungkapkan maknanya dalam kehidupan di alam nyata.
Selain benda dan gejala alam ada pula benda yang tidak dianggap oleh orang Dayak sebagai daya penghidup, melainkan hanya sebagai sarana penampakan roh, kekuatan gaib, atau sebagai tempat keramat. Manusia menjadi sadar terhadap keberadaan yang sakral, karena yang sakral memanifestasikan dirinya, menunjukkan dirinya sebagai sesuatu yang berbeda secara menyeluruh dari yang profan. Hal ini dinamakan hierophany, yakni sesuatu yang sakral menunjukkan dirinya kepada manusia.
Sumber foto : https://travel.kompas.com/
Dari sini dapatlah dikatakan bahwa sejarah agama-agama dari primitif hingga yang paling tinggi dibentuk oleh sebagian besar hierophany, yaitu oleh manifestasi-manifestasi realitas-realitas yang sakral tadi. Misalnya yang sakral dapat mewujud dalam pantak. Pantak itu tidak disembah, tetapi pantak menunjukkan dirinya sebagai suatu yang sakral dan realitas ini dirubah menjadi realitas supranatural.
Masyarakat Dayak Kanayatn menyebut Tuhan Yang Maha Kuasa dengan sebutan Ene’ Daniang atau Jubata, yakni penguasa jagad raya beserta isinya. Jubata berada di langit ketujuh. Ia mempunyai enam bawahan, yaitu; Ne’ Pangedaong, Ne’ Patampa’ yang dipercaya membuat patung-patung dari tanah liat bentuk menyerupai manusia. Ne’ Amikng dan Ne’ Pamijar yang memberi napas kepada manusia. Ne’ Taratatn memberi kesegaran jasmani maupun rohani. Ne’ Pangingu memberikan berkat perlindungan, sedangkan Ne’ Pajaji dipercaya yang menjadikan manusia berbudi dan memelihara hidupnya sampai pada semua keturunannya (Maniamas Miden Sood, 1999:7).
Menurut kisah penciptaan nama-nama bawahan itu adalah nama lain dari Jubata, maksudnya satu pribadi pencipta dengan beberapa nama atau satu nama dengan berbagai sifat-sifat kekuasaanNya. Hal ini sama hal nya dengan nama Allah dalam agama Islam yang mempunyai 99 nama sesuai dengan kekuasaan dan kesempurnaannya.
Masyarakat Dayak Kanayatn meyakini dunia ini terbagi menjadi tiga bagian. Pertama adalah Dunia Atas, yaitu dunia yang ditempati oleh Jubata, dukun, dan nenek moyang yang meninggal sebagai pahlawan. Kedua adalah Dunia Tengah atau dunia fana yang ditempati manusia. Ketiga adalah Dunia Bawah yang dihuni oleh roh orang mati. Dunia Bawah ini merupakan sebuah dunia yang tidak dikenal, terisolasi, dan gelap.
Setelah meninggal, setiap manusia kecuali dukun dan nenek moyang yang meninggal sebagai pahlawan akan menuju dan tinggal disitu selama-lamanya. Begitu juga dengan sumangat (jiwa) orang yang meninggal, ia tidak akan pernah kembali kekehidupan manusia dan tidak pernah pergi kemana-mana. Namun hal tersebut tergantung apakah waktu meninggal orang yang bersangkutan sudah melewati upacara adat kematian atau belum.
Masyarakat Dayak Kanayatn mempercayai adanya setan atau iblis yang disebut Pantokng Bangok Pilas Galikng. Mereka mempercayai jiwa orang jahat akan bangkit dari kuburnya dan menghantui orang yang masih hidup. Hantu semacam ini biasanya dapat menjelma dalam rupa binatang dan manusia, maka untuk menghindari gangguan roh jahat tersebut biasanya mereka memberinya dengan berbagai macam makanan atau sesaji, seperti lamang (ketan), tumpi’ (cucur), minuman, daging babi dan ayam, telur, nasi dan lain sebagainya.
Bagi mereka yang mempunyai pengalaman religius, setiap benda mempunyai kemampuan untuk menjadi perwujudan kesakralan kosmik. Bahkan kosmos ini dalam keseluruhannya dapat menjadi hierophany (Mircea Eliade, terj. Nuwanto, 2002:3-5). Begitu juga yang terjadi pada masyarakat Dayak Kanayatn, mereka tidak menyembah pantak tetapi melihat hierophany atau realitas-realitas sakral dalam pantak tersebut.
Kekuatan sakral tersebut dapat pula digunakan untuk membantu beberapa kegiatan atau pekerjaan manusia, seperti digunakan pamaliatn untuk memanggil roh halus yang kemudian digunakan dimanfaatkan pamaliatn membantunya dalam ritual pengobatan tersebut. Kekuatan-kekuatan ini merupakan sebagian dari hierophany yang dimaksud.
Demikian penjelasan singkat mengenai keparcayaan masyarakat Dayak. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Salam budaya.
Sumber foto : adira.co.id
Traktir Mbah Dinan kopi klik di sini
atau mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
LIHAT ALAT MUSIK MELAYU
Hubungi Admin: 0811 5686 886.
atau mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
LIHAT ALAT MUSIK MELAYU
Hubungi Admin: 0811 5686 886.
Kategori :
budaya,
- Konsep Kepercayaan Dayak Kanayatn - - Powered by Blogger. Jika ingin menyebarluaskan atau mengcopy paste artikel Konsep Kepercayaan Dayak Kanayatn, harap menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terima kasih.