Jual alat musik Dayak Lihat Produk!

Limited Tradition

Kuratorial Pameran Lukisan Borneo Metamorfosa III 2024

Limited Tradition - Kuratorial Pameran Lukisan Borneo Metamorfosa ke tiga yang dilaksanakan pada tanggal sepuluh sampai delapan belas Agustus dua ribu dua puluh empat (10-18 Agustus 2024) di Aula Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Tanjungpura Pontianak Kalimantan Barat. Pameran Lukisan Borneo Metamorfosa ke tiga melibatkan dua puluh perupa kalbar dan lima puluh karya (20 perupa kalbar dan 50 karya lukis). Dilaksanakan oleh Puji Rahayu, S.Sn., sebagai penerima bantuan dana pemerintah bidang Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah Dua Belas (BPK Wilayah XII) Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Kuratorial oleh Ferdinan, S.Sn., (Mbah Dinan) dengan latar belakang Pelaku Seni Musik Dayak dan Pengamat Budaya Kalimantan Barat.

Kurasi Pameran Lukisan Borneo Metamorfosa III

Perkembangan jaman akan memaksa intelektualitas dan kreatifitas harus sejalan dengan modernitas. Semua konsep ditulis diatas kertas dan dijadikan landasan berpikir cerdas. Masyarakat dipaksa menjadi robot untuk menghancurkan batas-batas. Semua pakem akan digilas, nilai budaya akan dilibas, tradisi akan diperas. Lalu dihidupkan lagi dalam bentuk kekinian dari sisa-sisa ampas. Tradisi diprogram menjadi zombie peradaban ditengah masyarakat urban perkotaan. Mungkin nanti, tradisi akan kembali, menjadi hantu dalam bentuknya yang baru.

Masyarakat tradisional memandang tradisi sebagai manifestasi kehidupan yang bernilai dan dianggap keluhuran hidup. Oleh karena itu eksistensi tradisi tidak bisa hanya dipandang sebagai nilai yang akan dikaji antara “layak dan tidak layak” dalam ruang sosial. Tradisi adalah pengkristalan hidup dan dianggap fakta keagungan peradaban masyarakat pemiliknya. Oleh karena itu, tradisi tidak dapat dimaknai sempit, seperti secolet kapur di daun sirih atau sekapur sirih.

Pada beberapa kebudayaan, Lahir pandangan “Eks-Tradisi” sebagai bentuk radikalisasi terhadap kesenian yang sudah usang dan dianggap tidak dapat memenuhi kebutuhan serta minat kemajuan jaman. Eks-tradisi adalah suatu tradisi yang hidup dimasyarakat, namun tradisi ini sudah tidak diperdulikan lagi dan cenderung ditinggalkan. Kebanyakan eks-tradisi adalah tradisi lama yang dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan nilai hidup yang berkembang dimasyarakat. 

Budaya lama kadang masih disayang dan ketika digunakan lagi akan disesuaikan dengan perkembangan jaman serta selera kekinian. Tujuannya dua, menjadikannya lebih modern atau hanya memberikan sentuhan kreatif pada tradisi tersebut. Walau nilai budaya dalam tradisi akan berubah, namun bentuk kebaruan itu akan memberi nilai tambah pada ranah estetik, sekaligus ada nilai yang terdegradasi karena perkembangannya.

Pada sisi yang lain, ketika tradisi dijadikan objek rekonstruksi kesenian, maka tradisi akan cenderung berubah drastis, bahkan bisa saja menjadi bentuk baru yang menghilangkan jejak aslinya. Hal ini terjadi karena salah memahami rekonstruksi dalam seni tradisi. Rekonstruksi kesenian seharusnya diletakkan pada perubahan pola pandang masyarakatnya, hingga tumbuh kesadaran akan pentingnya keberadaan tradisi dalam kehidupan mereka. Dari situ akan tumbuh semangat untuk melestarikan seni tradisi oleh pemiliknya sendiri. Pelestarian inilah yang nantinya dapat dikaji menjadi bentuk baru yang tidak meninggalkan pakem dan nilai budaya yang ada didalamnya.

Dunia modern memaksa tradisi menjadi barang komodifikasi yang merujuk pada perubahan menjadi sajian panggung ekonomis. Kesenian tradisi dikembangkan untuk bisa memenuhi aturan pasar, sehingga lebih menarik dalam penampilannya yang baru dan lebih mempunyai kekuatan nilai jual. Kesenian tradisi yang semula sebagai subjek pengetahuan, kebijakan, dan kearifan lokal masyarakat, kemudian berubah menjadi objek jual beli melalui proses reproduksi budaya. Hal ini terjadi karena perkembangan suatu budaya dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi serta keinginan dari masyarakat itu sendiri untuk berkembang.

Kebanyakan komposisi baru dalam praktiknya merubah, bukan ditata ulang. Jika terlalu banyak merubah, akhirnya akan menghilangkan esensi lokalitas. Tradisi kehilangan jejak peradaban dalam perkembangannya. Tradisi berganti topeng baru, memakai baju baru, lalu disuruh bergerak sesuai etika kemajuan jaman. Makanan tradisi bukan lagi kangkung, tapi berganti hamburger, minum kopi susu dingin, dan mulai berceramah tentang teknologi. Alam primordial modern memaksa tradisi melupakan ranah asal, sehingga lahirlah tradisi baru yang bernama Ekstra-Tradisi.

Dalam dunia modern, wajah Eks-tradisi ibarat mantan pacar yang tidak terpakai karena dianggap usang. Sementara Ekstra-tradisi juga tidak ubahnya seperti janda binal, motok dan behenol. Namun karena dandanan ekstra-tradisi itu terlalu menor, akhirnya kita tidak bisa lagi melihat keluguannya, terutama ketika tradisi pindah ke kota dan menjadi budaya baru dalam masyarakat urban.

Ekstra-tradisi lahir secara prematur dan tidak ubahnya seperti budaya ilusional atau bayangan. Hal ini karena tradisi hidup dan berkembang dikalangan masyarakat delusional (tidak dapat membedakan antara kenyataan dan khayalan). Kebanyakan orang tidak bisa lagi membedakan mana tradisi asli (sebenarnya) dan tradisi ilusi (palsu). Tradisi dijadikan bahan permainan sulap, untuk kebutuhan sesaat dan hanya sebatas pemuas nafsu hiburan. Tradisi menjadi benda mati sebagai penghuni gemerlapnya panggung atau ruang pamer, lalu dijual sebagai bahan pendidikan dan apresiasi. 

Tradisi sudah tidak bisa mengenali dirinya sendiri walau hidup dalam gemerlap lampu dan riuhnya tepuk tangan. Akhirnya ekstra-tradisi itu menjadi robot pemakan tradisi lama, atau menyingkirkan tradisi asli yang dipandang tidak layak untuk mengisi ruang apresiasi. Saat itulah perkembangan sudah membunuh tradisi asli dan menjadikannya mayat hidup dalam dunia baru. Tradisi makan tradisi, inilah yang kita jual dan menjadi racun baru yang membuat kita tidak perduli lagi dengan tradisi asli. Pola pikir inilah yang kita hidupkan diranah pelestarian dan perkembangan.

Tafsir tradisi mulai disederhanakan. Banyak kaidah nilai yang harus diganti dengan alasan menyesuaikan kebutuhan. Parahnya lagi, banyak nilai-nilai budaya yang harus disunat karena memaksa untuk dijadikan komuditas unggulan. Seiring waktu, lahirlah budaya baru yang dipaksa menjadi tradisi dikota-kota, terlalu instan, dielukan sebagai master piece, walau dalam totalitas kesalahan persepsi. Itulah bentuk budaya halusinasi yang dilahirkan dari perkawinan silang antara masyarakat ilusi dan delusi. 

Kurasi Pameran Lukisan Borneo Metamorfosa III
Gambaran budaya urban itu terbaca melalui karya Bani Hidayat berjudul Saprahan Millenia. Budaya saprahan sekarang dirasakan hanya sekedar kumpul-kumpul makan, namun banyak sekali orang yang tidak mengerti makna saprahan itu sendiri. Beberapa sajian juga sudah berubah, disesuaikan dengan selera dan tata cara kelaziman kota. Esensi saprahan yang dulunya untuk menyatukan masyarakat dalam rasa persaudaraan, sekarang berganti menjadi rasa pesta dan terlihat seperti ajang pengakuan status sosial belaka. 

Sekat-sekat sosial mulai nampak dalam budaya saprahan. Ruang-ruang hanya menjadi tempat kelompok tertentu yang mengusung dogma sosial masing-masing. Kebanyakan orang yang hadir dalam saprahan tidak mengenal lagi siapa yang duduk disebelahnya. Marjinalisasi suatu kelompok terhadap kelompok lain terbaca pada sekar-sekat kepentingan golongan, bahkan terlihat dalam piring-piring sajian. Ketika acara tersebut selesai, kita masing-masing melangkah pulang tanpa bertegur sapa.

Saprahan dijaman millenum berganti menjadi ruang gengsi. Ruang yang hanya membawa garis-garis keangkuhan feodalisme namun dibalut kain warna warni yang kita sebut tradisi. Kita memang merasa aman dalam ruang warna yang tergantung menjadi pembatas wilayah pemikiran satu frequansi. Akhirnya saprahan yang tadinya sebagai penopang kebersamaan masyarakat, sekarang hanya dipandang sebagai ajang senang-senang, kumpul-kumpul dan makan-makan saja. Saprahan menjadi asing ditengah riuhnya pengunjung dan euforia kemegahannya. 

Seorang Dayat tidak hanya bercerita tentang saprahan, namun mengingatkan kita akan pentingnya nilai budaya dalam saprahan tersebut. Dayat hanya rindu keakraban saprahan dulu. Dia juga bukan orang yang menolak perkembangan, namun dia hanya menyisipkan harapan sebagai pesan. Sebuah harapan dialektika sosial yang dibalut keramahan dan keakraban. Sebuah harapan yang dilahirkan dalam karya lukisnya, tentang jiwa saprahan sebagai marwah Adat Budaya Melayu di Kalimantan Barat. 

Banyak orang tidak menyadari kalau tradisi kita mempunyai sifat ketunggalan. Setiap tradisi tidak mempunyai dua bentuk yang sama, namun bisa saja terdapat tradisi yang senafas. Contohnya seperti Tradisi Musik Sape yang ada pada Dayak Kayaan Mendalapm (Kalbar) senafas dengan Tradisi Musik Sape yang ada dalam masyarakat Kenyah (Kaltim). Bisa saja bentuknya sama, namun gaya dan pakem permainan tetap berbeda. 

Itulah pakem dalam musik tradisi yang menjadi ciri dari mana musik tersebut berasal. Pakem pulalah yang menjadi ciri kesukuan dalam suatu kebudayaan. Pakem inilah yang tidak boleh dihilangkan, karena menghilangkan ciri dari suatu tradisi sama saja menenggelamkan tradisi tersebut dalam jurang keterasingan. Silahkan dikembangkan, namun esensi dari musik tradisi itu jangan sampai hilang. Itulah keaslian sebuah tradisi, sebuah warisan budaya satu-satunya yang kita miliki dan tidak akan pernah sama dengan kebudayaan ditempat lainnya.

Kurasi Pameran Lukisan Borneo Metamorfosa III
Kebanyakan musik Sape dikembangkan merujuk pada penyesuaian. Sampai ranah ini, musik banyak dirubah dengan berbagai eksperimentasi bunyi. Elemen musik tidak lagi berbicara tentang logika kesukuan, namun bicara tentang ranah modernisasi dan penyesuaian kebutuhan. Pola dan teknik permainan semakin berkembang luas, baik yang terjadi pada wilayah nada, teknik permainan, dan penambahan efek suara. Musik Sape lebih ditata untuk kebutuhan ekplorasi bunyi. Pengembangan ini sebenaranya sah-sah saja dilakukan, namun yang perlu diingat, bahwa dalam semua permainan kita juga perlu melihat keaslian tradisinya, agar pengembangan tidak menghilangkan secara menyeluruh bentuk musik dan nilai yang ada didalamnya.

Semua seniman pasti perlu pengembangan untuk menjelajah wilayah eksperimentasi. Semua orang tidak menolak perkembangan tersebut, namun pijakan juga harus jelas, agar apa yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan. Bukan hanya diambil, dipakai, dirubah, dieksplorasi menjadi baru namun melupakan asal dimana musik itu lahir dan berkembang. Perlu kita fahami bahwa musik sape dan segala ornamentasinya berhubungan erat dengan masyarakat sebagai suatu kebulatan konsep hidup yang berbudaya dan berperadaban. Jangan sampai gara-gara dikembangkan kebudayaan dikaburkan.

Seperti apa yang digambarkan Budi Kurniawan dalam karya grafisnya berjudul “Sapecaster”. Dia menggambarkan alat musik Sape yang sekarang jarang diminati dan cenderung ditinggalkan. Kondisinya sekarang musik Sape di Kalbar lebih banyak dikembangkan namun tidak menyentuh keaslian tradisinya. Lambat laun dan semakin berkembangnya jaman, akhirnya banyak generasi yang tidak tertarik lagi dengan alat musik tersebut dan cenderung dilupakan. Kegelisahan Budi Kurniawan dirasakan juga oleh seniman musik tradisi Kalbar. Akhirnya beberapa seniman bergerak untuk melestarikannya. Sampai disini pengembangan memang dilakukan namun kehilangan jejak tradisinya.

Budi Kurniawan bukan seorang yang menutup mata ketika budaya ditinggalkan. Mungkin saja “eks-tradisi” musik Sape sekarang hanya tinggal kenangan dan menjadi hiasan sejarah. Akhirnya seorang Budi Kurniawan merangkai kembali menjadi karya seni dalam bentuk yang baru sebagai gambaran kegelisahan. Dia mewujudkan realitas Sape menjadi “ekstra-tradisi”, yaitu sebuah wujud baru ditengah galaunya pemikiran akan tradisi sebenarnya. Dia lebih memilih melukiskan makna kegelisahan tentang tradisi yang sekarang hilang dari ingatan.

Budi Kurniawan bukan sosok penolak modernitas. Dia hanya ingin merangkum kenangan Sape dalam dialektika jaman, berkisah pada penyaksi karya tentang kenyataan tradisi dan nilai-nilai lama. Berkisah tentang ide romantisme dengan segala kenaifannya. Lalu menyadur kenangan tersebut dalam kontemplasi dan jiwa kekinian. Dia tetap mempertahankan tradisi lama ditengah galaunya pencarian bentuk kebanyakan seniman Pontianak. Dia tidak mau terpengaruh segala macam kerumitan tentang tradisi itu, namun dia hanya ingin jujur, bahwa sape adalah bahasa rindu dan kekaguman yang tidak akan pernah sama ketika dirasakan orang lain. Sayangnya tradisi ini semakin sepi ditengah ramainya perkembangan musik di Kalimantan Barat. 

Semua benda warisan budaya mempunyai bentuk, ornamen, dan kedudukannya dalam suatu masyarakat dan itu dimaknai berbeda oleh setiap orang. Masing mempunyai posisi penting dalam kebudayaan masyarakatnya. Posisi benda budaya dalam suatu masyarakat menjadikan kebudayaan itu hanya tercipta satu dan menempati posisi tunggal dialam pemikiran mereka. Seperti halnya perahu tradisi Musik Sape Kalbar mempunyai nafas yang sama dengan Tradisi Musik Sape yang ada di Kaltim, namun legalitas kepemilikan masing-masing mempunyai posisi untuk memperkuat kedudukan suatu kebudayaan. 

Legalitas pemikiran masyarakat menjadikan kebudayaan itu limited tradition, sebuah tradisi yang hanya ada satu-satunya, tidak pernah sama, dan hanya dilahirkan sebagai mahakarya tunggal. Posisi warisan budaya dalam suatu kebudayaan masyarakat lebih menekankan kepada cirikhas yang dilegalkan dan diakui milik bersama, serta dapat menggambarkan kehidupan masyarakat dimana kebudayaan itu lahir. Posisi inilah yang membuat sebuah budaya menjadi kuat, karena menyatu dengan masyarakat sebagai penggerak kebudayaan tersebut.

Jika limites tradision itu dikembangkan, seharuskan kita sudah memahami konsep tunggal dalam tradisi tersebut. Kita hanya perlu mengembangkan satu tradisi saja, bukan melahirkan tradisi baru yang cenderung menjadi tandingan. Kita bisa saja merubah bentuk selama pakem tidak dilanggar, karena pakem itu adalah cirikhas tradisi yang menjadikannya tunggal dan berbeda dengan lainnya. Itulah yang menjadi cirikhas dari kehidupan masyarakat pemiliknya. 

Kebudayaan tidak dapat diglobalisasi dalam satu persepsi. Contohnya seperti Sape, tidak dapat hanya dipandang sebagai alat musik biasa. Sape adalah tonggak peradaban yang lahir dalam suatu masyarakat. Dialektika bentuk dan ornamentasi pada sape adalah simbol kemegahan adat dan kesukuan. Itulah pakem yang tidak boleh dirubah secara serampangan tanpa pijakan. Merubah bentuk atau rangkaian ornamentasi akan merubah nilai, bahkan bisa menghilangkan esensi dari kesukuan itu sendiri. Pada kenyataannya, kebanyakan orang hanya melihat alat, namun melupakan nilai budaya yang ada didalamnya.

Tradisi Saprahan dan Musik Sape hanya contoh kecil dari tradisi di Kalbar yang menjadi artefak dalam pemikiran masyarakat urban kota Pontianak. Khasanah nilai harus dikerdilkan dengan menyeragamkan tradisi agar sesuai dengan hidup gaya baru ditengah modernisasi jaman. Keaslian tidak lagi dianggap pakem yang bernilai, namun disederhanakan dalam bentuk baru yang jauh berkembang. Kemudian Ide perkembangan inilah yang dibawa dalam beberapa pembangunan kebudayaan Kalbar. Semakin lama semakin berkembang, dan jauh berkembang. Sampai kita tidak mengenal lagi tradisi asli dalam bentuknya yang baru.

Persepsi kebaruan dan kekinian inilah yang disadur dalam bingkai karya seniman Borneo Metamorfosa. Mereka tidak menemukan lagi semangat kesukuan dan kebesaran dari budaya asli ditengah jaman yang semakin membingungkan. Seniman telalu banyak berkutat dalam asumsi “idealnya bentuk” dialam liar imajinasi lalu melahirkan bentuk baru agar dapat sesuai dengan imajinasi mereka. Inilah yang dimaksud dengan penyederhanaan makna tradisi. Artinya mereka tidak menggambarkan bentunya yang semakin tidak dapat dikenali, namun melukiskan alam pikir masyarakat ketika seni tradisi dilahirkan kembali ditengah kebingungan. 

Kurasi Pameran Lukisan Borneo Metamorfosa III
Seniman Borneo Metamorfosa tidak melukis absurditas bentuk, namun mereka hanya mempersepsi pemikiran kebanyakan orang. Mereka juga tidak melukis melankolia perkembangan yang mengharuskan semua bergerak maju, namun jalan pintas agar bisa menyampaikan pemikiran masyarakat tentang seni tradisi dengan tafsir kekinian. Seniman borneo metamorfosa membongkar pemikiran umum dan melukisnya melalui sudut pandang berbeda, tentunya dengan kompleksitas dan melanggar batas-batas. Perlu ditegaskan, bahwa seniman borneo metamorfosa tidak melukiskan tradisi apa adanya, namun mereka melukiskan konsep kedalam bentuk maknawi pada Pameran Lukisan Borneo Metamorfosa.

Borneo Metamorfosa lahir dari keterhimpitan seniman yang dipaksa modern, namun rindu dengan nostalgia purba. Sebuah kisah usang yang sudah lama ditinggalkan. Tentang tradisi yang semakin tidak dikenal lagi dan terjajah radikalisasi pemikiran sendiri. Sebuah wajah tradisi yang hanya dapat dibayangkan dari cerita tidak lengkap dan membingungkan.

Borneo metamorfosa adalah kegelisahan perupa kalbar sebagai penyaksi tradisi lama yang menjadi artefak dalam pemikiran kebanyakan orang. Tradisi digaungkan menjadi manifestasi kedudukan dan lambang gengsi. Lalu wajah baru tradisi dianggap tinggi dan bernilai, sementara yang asli tidak dipandang lagi. Ketika tradisi baru dimasukkan dalam dunia pendidikan, dia menjadi propaganda dusta. Ketika tradisi berada di panggung jaman yang katanya modern, dia menjadi produk kapitalis dan menyingkirkan nilai-nilai kesukuan. Seni tradisi diseragamkan tanpa identitas.

Ketika saya memasuki ruang pameran Borneo Metamorfosa, saya hanya melihat rongsokan tiang-tiang tradisi berkarat, lapuk, tidak terurus dan tidak diperdulikan lagi. Sementara sejarah tradisi adalah erotisme fakta yang dianggap masih menarik oleh perupa Kalimantan Barat. Namun mereka juga kehilangan bentuk aslinya, kehilangan kisah rupa sebenarnya, hanya saja mereka tetap memaksa untuk menyadurnya menjadi harapan. Sebuah harapan yang dipaksa lahir dari binalnya alam imajinasi. Mungkin dari situ, mereka masih menemukan jejak harapan yang sekarang ditenggelamkan.

Saya tidak lagi menemukan nuansa purba, namun menemukan cerita baru tentang tradisi urban dalam masyarakat yang memaksa modern. Seniman Pontianak memang bukan kumpulan masyarakat halusinasi, mereka adalah kaum imajinatif, yang memandang tradisi dalam wajah kontroversi. Begitulah ketika tradisi yang ada di desa ditafsir menjadi tradisi di kota-kota. Terlalu naif, namun asik ketika dibedah dalam ruang fiksi, sebuah ruang pikir berkonsep walau menolak berbagai aturan baku, atau ditafsir kaku oleh pelaksana tradisi itu sendiri.

Pada umumnya lukisan dalam pameran borneo metamorfosa berbicara tentang budaya Kalimantan Barat. Kebanyakan lukisannya merupakan ruang tafsir baru dengan kegalauan pencarian bentuk tradisi asli. Seniman borneo metamorfosa menyadur karya dalam perspektif berbeda. Hal ini terjadi karena mereka tidak bisa menyuarakan kegelisahan akan hilangnya tradisi dalam ingatan. Ketika “kabar kabur” tradisi sampai ditelinga mereka, akhirnya direka rupa, sedemikian rupa, dalam ruang rupa berbeda, dan dijabarkan dengan gaya berbeda dari biasanya. Walau ada juga bentuk baru yang dirasa kurang mewakili tradisi dan terlalu absurd untuk ditafsir sebagai budaya. Namun pada intinya mereka sudah melukiskan tradisi dalam masyarakat urban kota Pontianak.

Kurasi Pameran Lukisan Borneo Metamorfosa III
Kebanyakan lukisan yang dipajang dalam ruang pamer Borneo Metamorfosa adalah sebuah perubahan bentuk interaksi sosial budaya Kalbar. Refleksi kejadian dan bentuk apapun dalam setiap interaksi sosial budaya akan dipilih dan disaring dalam pemikiran. Seniman akan mengungkap fakta tersebut dalam dimensi rasa dan rasio berbeda, kemudian melahirkan karya sebagai bingkai pemaknaan baru dari semua fakta yang dia alami, yaitu tentang fakta tradisi Kalimantan Barat dari sudut pandang berbeda.

Ada kalanya kita menyandingkan karya dengan pemikiran umum dan kenyataan faktual dalam kehidupan, namun pada sisi lain kita tidak dapat menjangkau kedalaman imajinasi seniman ketika melahirkan karya. Akhirnya sebuah karya dijabarkan multitafsir. Inilah alasan kenapa penyaksi karya dalam pameran lukisan borneo metamorfosa harus membacanya berbeda. Koridor pemikiran umum selayaknya ditinggalkan diluar ruang pamer, dan masuklah dengan kekosongan akal. Dari sana kita akan mudah memahami suatu kebaruan sesuai dengan pengalaman batin dan semangat kekaryaan. Walau kadang terlalu absurd untuk kita cerna. Itulah borneo metamorfosa, dengan semangat dan alam yang berbeda.

Borneo Metamorfosa adalah bahasa rasa yang bercerita tentang sisi lain tradisi yang ada di Kalbar, tentang nostalgia dan sejarah purba yang kebanyakan luput dari perhatian manusia. Karya-karya yang terpajang adalah tradisi yang ditafsir ulang dalam keliaran persepsi. Ketika kita mempertanyakan keterkaitan karya dengan fakta tradisi asli, maka jangan dipaksakan harus sama. Karena fakta tradisi yang mereka rasakan pasti berbeda dengan yang kamu rasakan, tradisi yang mereka pikirkan akan berbeda dengan yang kamu pikirkan, dan pengalaman estetik ketika bersentuhan dengan tradisi itu akan selalu berbeda pada setiap orang. Seniman hanya mengajak kamu untuk menyaksikan wajah tradisi baru dari sudut pandang berbeda dan harus dicerna dengan pemikiran berbeda dari biasanya. 

Sebuah karya seni mutlak beracuan pada nilai estetis, namun bisa saja mempunyai multi tafsir. Artinya kita jangan mempersempit makna tradisi dalam bingkai karya. Namun karya juga pasti mempunyai konsep yang jelas sebagai latar belakang kelahirannya. Begitu juga dengan borneo metamorfosa, semua lukisan tentang tradisi tidak sekonyong-konyong ada dan dimaknai secara membabi buta. Dialah kumpulan warna yang lahir dari persetubuhan logika, rasa, dan imajinasi. Wajah tradisi dibahasakan ekstra oleh seniman, karena mereka bukan pelaku sebenarnya. Mereka hanya penyaksi tradisi yang selama ini kehilangan ingatan tentang tradisi yang berganti wajah dan kehilangan semangat awal kelahirannya. Mereka hanya bisa melukiskan tradisi dalam bentuk yang semakin kompleks ketika dihadapkan dalam logika modern, lalu seniman diajak untuk mengisahkan ulang ketika mereka sendiri dalam kebingungan. 

Memang hidup ini terlalu naif untuk dicerna. Begitu juga dengan tradisi yang terlalu kompleks untuk dijabarkan. Sebuah tradisi yang berganti kulit dan cenderung meninggalkan pakem serta menolak aturan. Namun sejarah peradaban selalu meninggalkan jejak. Sebuah kisah tentang tradisi yang semakin kabur dalam ingatan semua orang. Sebuah tradisi yang terhimpit dalam hiruk pikuk berbagai konsep pengembangan, sampai pada bisingnya suara kendaraan yang juga kita sangka tradisi. 

Mungkin kita tidak lagi mempunyai tradisi dengan nafas yang sama, semangat yang sama, dan keelokan yang sama. Mungkin juga kita termasuk orang-orang yang delusi, tidak bisa membedakan kenyataan dan ilusi dari sebuah tradisi yang dipaksa modern. Kita krisis kepedulian, karena otak kita sudah mencapai limitasi pemikiran. Saat ini, kita dipaksa mengakui satu tradisi yang tidak kita kenali, tradisi palsu yang dipaksa lahir dibawah tekanan modernisasi. Itulah satu-satunya tradisi yang kita miliki, limited tradition, yaitu tradisi yang lahir dari limitasi pemikiran kita sendiri.

Traktir Mbah Dinan kopi klik di sini
Beli alat musik Kalimantan klik di sini
Hubungi Admin via whatsapp klik di sini.

About the Author

Saya Ferdinan, S.Sn. dipanggil Mbah Dinan. Komposer dan peneliti independen budaya musik Dayak kalimantan Barat. Masih aktif memberi pelatihan seni musik Dayak pada komunitas di Kalimatan Barat.

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.