Jual alat musik Dayak - Buy Now!

Membaca Arus Tengah

Membaca Opini Pameran Kulu Kile

Membaca Arus Tengah

MEMBACA ARUS TENGAH
: karena terlalu banyak kata kunci – kemarin saya berkunjung ke pameran Kulu Kile di Pasar Ikan Purnama Pontianak. Sebuah ruang pamer yang menurut saya unik dan dan sederhana. Sederhana untuk dibaca sebagai pengembangan ruang publik. Sederhana pemunculan ide dan gagasan nakal para seniman yang berbaur dengan masyarakat. Sederhana untuk ditelaah sebagai ruang alternatif asik dalam diskusi pengembangan kebudayaan. Sebuah wadah untuk memunculkan konsep sederhana, bahkan ketika bagian dari budaya itu kita temukan ditengah ramainya pasar ikan dan teriakan orang-orang ketika tawar-menawar harga. 

Pameran Kuli Kile membaca sebuah pengembangan budaya dari arus pinggir, membaca konsep ruang opini dari hulu ke hilir. Mereka mencoba membaca paradigma masyarakat pinggiran sungai kapuas dengan berbagai gaya persepsinya, lalu menuangkan dalam ruang wacana estetis untuk dikaji (bukan di puji). Sebuah wacana lama yang tertunda kesibukan namun ada diantara opini publik yang terpinggirkan. 

Kebanyakan orang memaknai sebuah proses kreatif memerlukan ruang khusus untuk menggelar karya dan diapresiasi dengan bayangan kenyamanan. Sebuah ruang yang sengaja dibalut hasrat kelayakan itu kadang timbul dengan segala kerumitan konsep. Berbeda dengan suguhan wacana konsep pameran Kulu Kile, hanya dicukupkan ketika merubah pemaknaan ruang tamu yang sebenarnya juga ruang kritis. Sebuah ruang yang selama ini kita tenggelamkan dan tidak pernah kita pikirkan dalam kajian ruang kebudayaan. 

Membaca arus pinggir adalah memaknai suatu tempat dengan keistimewaan budaya dan sosial sebagai hasil dari interaksi masyarakat sekitar pinggiran Sungai Kapuas di Kota Pontianak. Hal ini dapat saja tempat tersebut menjadi pusat kajian budaya. Artinya ada interaksi sosial yang merujuk suatu kebiasaan terpola (tradisi) sehingga suatu kawasan itu bisa dijadikan pusat kebudayaan, walau nantinya akan mengkaji secara spesifik kebudayaan tertentu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pusat kebudayaan (cultural center) memiliki pengertian sebagai tempat membina dan mengembangkan kebudayaan. Pusat kebudayaan memiliki peran serta fungsi tertentu yang dapat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat sekitar dalam membentuk ruang publik pada suatu kawasan. Ketika semua sudah sepakat, sependapat, dan maklumat, maka suatu tempat itu menjadi wujud ruang publik yang memiliki nilai budaya dan sejarah yang penting dalam proses penggalian dan pengembangan nantinya.

Pameran Kulu Kile membaca wacana transenden, sebuah wacana yang kebanyakan dipandang absurd. Namun mereka membuktikan bahwa fakta ruang dalam sebuah kebudayaan bukan sebuah manifestasi hasil. Seniman Kulu Kile menganggap bahwa ruang ada sumber (hulu) dari konsep kebudayaan yang bermuara di pinggiran kota Pontianak. Sampai pameran itu terlaksana di Kutub Center pasar ikan Pontianak, mereka membuktikan bahwa sebuah kajian sumber, bukan wacana baru yang kebanyakan rekayasa. Hanya saja, saya membacanya agak terlalu banyak kata kunci dalam wacana konsep arus pinggir yang dibawa kawan-kawan.

Kesederhanaan konsep sebuah ruang bukan hasil dari opini liar, namun persepsi yang tersaring oleh pemikiran-pemikiran. Mungkin saja kata kunci sebuah ruang adalah pemikiran itu sendiri, sehingga sebuah kesimpulan dapat ditarik untuk dijadikan bahan dasar pengembangan. Namun ketika kata kunci itu lahir secara parsial, maka cenderung akan menghasilkan jargor kebaruan. Seperti saya, sebagai penyaksi karya bukan membaca dari arus pinggir yang mungkin terlalu banyak kepentingan seperti banyaknya kata kunci yang tergambar pada salah satu dinding di Kutub Center. Saya lebih memilih arus tengah, karena tidak mau ter-aneksasi dengan pemikiran-pemikiran yang bagi saya bisa mengaburkan gagasan-gagasan mendasar dari ruang kebudayaan. 

Saya tidak menyingkirkan berbagai ide pengembangan kawan-kawan ruang rupa dan seniman Pontianak, hanya saja lebih menyederhanakan ketika saya berada diluar jalur pergerakan. Ketika pergerakan kawan-kawan berada pada arus pinggir, saya harus menempatkan diri diarus tengah, namun tidak berkayuh di arus seberang yang selalu mengeluarkan kontroversi. Saya lebih memilih membaca opini, tidak membaca arus pinggir sebagai konsep, dengan begitu semua konsep tidak saya tolak. Saya hanya memilih yang menurut saya efisien dan terukur untuk dikaji sesuai kemampuan. Jika ada yang tidak cocok, saya bisa berdamai dengan keadaan dan tidak memaksakan.

Kata kunci itu sebenarnya gambaran hasrat. Kadang hasrat tidak dapat berkompromi dengan keadaan, walau bisa saja dipaksa sejalan dengan wacara umum yang disepakati. Ketika itu terjadi, maka saya dapat saja berjalan dengan berbagai konsep kesepakatan tersebut. Selain itu, arus tengah adalah arus yang juga membawa konsep lain tentang kebudayaan. Beberapa ranting konsep pasti berhubungan, walau ranting itu tumbuh dari pohon disebelahnya. Bedanya, kata kunci yang dipilih kawan-kawan adalah retorika lain dengan yang saya dapatkan di arus tengah. 

Sebuah kata kunci yang tidak menceritakan jemuran dan sabun mandi. Sebuah kebiasaan yang tidak pernah dipermasalahkan ketika air surut atau menjadi kuning karena hujan lebat di hulu. Sebuah kata kata kunci apa adanya, tentang kisah sungai kapuas dengan nafas kehidupan masyarakatnya. Sebuah kata kunci yang mungkin terlalu sederhana dan tidak mempunyai nilai jual. Sebuah kata kunci yang lahir dari kepala penonton budaya. Sebuah kata kunci dari penyaksi karya, yaitu “nafas kapuas”. Sebuah nafas manusia yang hidup dipinggiran sungai Kapuas dengan berbagai kebudayaannya.

Maaf saya tidak membaca pameran ini sebuah dialektika ruang, namun saya lebih melihat kepada konsep tentang ruang opini publik. Saya tau di Pontianak ada sungai yang bernama Kapuas, namun ketika ada yang bertanya, apa sebenarnya sungai kapuas itu? Maka berbagai makna bisa saja lahir dibalik kisahnya. Bahkan bisa saja melahirkan makna yang jauh dari jangkau pemikiran. Namun ketika saya membaca sungai adalah nafas kebudayaan, maka saya dapat memahaminya secara sederhana dengan berbagai makna yang sederhana pula. Ketika wacana ini saya ceritakan kepada anak saya, setidaknya mereka memahami secara sederhana walau akan melahirkan makna baru dalam benak mereka. Itulah "nafas kapuas", sebagai "nafas kebudayaan" orang-orang pinggiran Sungai Kapuas di Kota Pontianak. 


Traktir Mbah Dinan kopi klik di sini
atau mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
Hubungi Admin: 0811 5686 886.

About the Author

Saya Ferdinan, S.Sn. dipanggil Mbah Dinan. Komposer dan peneliti independen budaya musik Dayak kalimantan Barat. Masih aktif memberi pelatihan seni musik Dayak pada komunitas di Kalimatan Barat.

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.