X9xcVhvrbaHv8NGGDcJ82aFgqHYD11qjhxNfbypG
Bookmark

Bumbu Pedas Kebudayaan itu Bernama AI

Bumbu Pedas Artificial Intelligence untuk Kebudayaan

Artificial Intelligence (AI) telah menjadi salah satu inovasi teknologi paling revolusioner sekarang ini. Dampaknya sangat luas dan mendalam pada berbagai bidang kehidupan, termasuk kebudayaan. Kebudayaan, sebagai cerminan nilai, norma, kepercayaan, dan praktik sosial yang dibangun oleh masyarakat, kini mulai dipaksa beradaptasi dan bertransformasi di bawah pengaruh AI. Pengaruh ini dapat dilihat melalui berbagai aspek, seperti seni, bahasa, dan interaksi sosial, yang semuanya mengalami perubahan signifikan karena kemajuan AI. Namun dibalik itu semua, kebudayaan mulai diseragamkan tanpa jati diri.

Banyak seniman dan budayawan telah menciptakan peluang baru bagi ekspresi artistik melalui AI. Teknologi ini memungkinkan banyak peluang untuk menciptakan karya-karya yang sebelumnya tidak mungkin dibuat dengan sangat cepat, seperti menghasilkan musik, lukisan, dan bahkan sastra hanya dalam hitungan detik. Contoh yang terkenal adalah penggunaan AI oleh seniman untuk menghasilkan lukisan-lukisan yang terinspirasi dari gaya pelukis terkenal, seperti Van Gogh, namun dengan sentuhan yang benar-benar baru dan cepat saji. AI juga telah memungkinkan penciptaan karya seni digital interaktif, di mana audiens dapat berpartisipasi dalam proses kreatif, sehingga mengubah cara kita memahami dan berinteraksi dengan seni. Karya-karya yang dihasilkan AI menjadi kelahiran gaya baru dalam suatu kebudayaan.

AI juga berperan dalam pelestarian kebudayaan. Teknologi ini digunakan untuk mendigitalisasi dan menganalisis artefak-artefak budaya dalam upaya pelestarian dan penelitian. Melalui analisis data yang canggih, AI dapat membantu mengidentifikasi pola-pola budaya yang sebelumnya tidak terlihat dan memberikan wawasan baru tentang sejarah dan evolusi budaya. Sampai pada pengaruh AI dalam bahasa dan komunikasi, yang merupakan elemen penting dari kebudayaan. Penerjemahan otomatis dan pengenalan suara, yang didukung oleh AI, telah mengubah cara kita berkomunikasi lintas bahasa dan budaya. AI memungkinkan terjadinya komunikasi yang lebih mudah dan cepat antara orang-orang dari latar belakang budaya berbeda. 

Dibalik semua manfaat AI, ada kekhawatiran tentang dampak negatif terhadap kebudayaan. Salah satu kekhawatiran utama adalah homogenisasi budaya. Dengan dominasi platform digital yang didukung oleh AI, ada risiko bahwa budaya lokal dapat tersingkir oleh budaya global yang lebih dominan. Selain itu, AI juga berpotensi mengubah nilai-nilai budaya yang ada dengan memperkenalkan norma-norma baru yang dihasilkan oleh algoritma, bukan oleh kemampuan manusia. Hal ini dapat menimbulkan tantangan dalam mempertahankan identitas budaya yang unik di tengah arus globalisasi yang semakin kuat.

Nilai-nilai budaya berubah karena homogenisasi kebudayaan. Kebudayaan diseragamkan karena pembacaan Algoritma digital cenderung mempelajari kebudayaan suatu masyarakat dan menjadikan patokan general untuk diterapkan pada kebudayaan lainnya. Ciri-ciri fisik artepak biasanya hanya dibaca pada ciri khususnya saja. Sementara dari berbagai budaya, material fisik kebudayaan sangat berbeda dan heterogen atau tidak mempunyai titik pangkal dan bentuk yang sama. Jika ada kemiripan, paling hanya kemiripan tarikan dasar bentuknya saja. Misalkan motif dayak tidak akan sama dengan ornamen hias motif dari kebudayaan melayu, jawa, bahkan eropa. 

Lebih jauh lagi, ada kekhawatiran bahwa AI dapat memperburuk ketimpangan sosial dan budaya. Teknologi ini cenderung dikembangkan dan dikendalikan oleh segelintir perusahaan besar yang berpusat di negara-negara maju. Akibatnya, kebudayaan dari negara-negara berkembang mungkin tidak mendapatkan perhatian atau representasi yang adil dalam dunia digital. Ini dapat memperkuat dominasi budaya Barat dan memperlemah keragaman budaya global. Budaya lama hanya menjadi kajian keunikan, sementara nilai-nilai budaya tidak menjadi perhatian khusus dalam indeksi Ai. Padahal itulah pakem yang sekaligus menjadi ciri khas masing-masing kebudayaan.

Secara keseluruhan, pengaruh AI terhadap kebudayaan adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, AI membuka peluang baru untuk ekspresi artistik, pelestarian budaya, dan komunikasi lintas budaya. Di sisi lain, AI juga membawa risiko homogenisasi budaya dan ketidakadilan sosial budaya. Untuk itu, sangat penting bagi kita untuk mempertimbangkan implikasi etis dan sosial, serta berupaya menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan pelestarian keragaman budaya yang menjadi identitas kita sebagai manusia.

Pengkaburan nilai budaya akibat menyeragaman tafsir robot AI, akan mengaburkan budaya itu sendiri. Sampai suatu saat nanti kita sebagai manusia tidak mempunyai budaya dengan keaslian nilai-nilai kesukuan. Mungkin juga kita dirobotkan oleh robot yang kita ciptakan sendiri. Karakteristik kebiasaan manusia menjadi patokan indeks kebutuhan manusia. Artinya AI membaca kebutuhan manusia, dan mencarikan solusi dari berbagai referensi secara global. Solusi yang ditawarkan cenderung bersifat umum, namun dikamuflase karena disesuaikan dengan keinginan manusia.

Suatu saat manusia bisa saja lupa dan ketergantungan dengan segala sesuatu yang diwacanakan AI. Sampai disitu, kebanyakan kita tidak sadar, bahwa AI sebenarnya merobotkan manusia, karena ditutupi kamuflase kecerdasan buatan. Bukankah manusia senang dengan apa yang dianggap sesuai dengan dirinya saja? Secara harafiah sesuai dengan keinginan dan pemikiran. Sampai persepsi “sesuai” itu merasuk dalam hati, lalu menjadi candu baru yang sangat menipu. Sementara kita merasa asik dalam stagnasi dan budaya instan.

Bumbu Pedas Kebudayaan itu bernama AI

Keragaman budaya lokal terancam oleh dominasi budaya global. Platform media sosial dan layanan streaming yang didukung oleh AI sering kali menampilkan konten yang dioptimalkan untuk menarik perhatian audiens global. Algoritma AI cenderung mempromosikan konten populer yang memiliki daya tarik universal, sehingga mendorong penyebaran budaya dominan, terutama budaya Barat, ke seluruh dunia. Akibatnya, budaya lokal yang kaya dan beragam sering kali terpinggirkan dan kehilangan relevansinya di tengah arus konten global. Proses ini mempercepat hilangnya tradisi, bahasa, dan praktik budaya yang unik, yang merupakan warisan penting bagi identitas suatu komunitas.

Fenomena perkembangan AI sudah pasti menimbulkan ancaman serius terhadap pekerjaan kreatif. Seniman, penulis, dan musisi semakin terancam oleh kemampuan AI untuk menciptakan karya seni, sastra, dan musik secara otomatis. Alat-alat AI yang dapat menghasilkan gambar, cerita, atau lagu dalam hitungan detik menimbulkan kekhawatiran tentang masa depan kreativitas manusia. AI mungkin efisien dan cepat, tetapi sering kali kekurangan kedalaman emosional dan keunikan yang merupakan ciri khas dari karya manusia. Di masa depan, jika AI terus menggantikan peran kreatif manusia, kita mungkin menghadapi hilangnya inovasi artistik dan pengurangan nilai intrinsik karya seni yang lahir dari pengalaman dan emosi manusia.

AI juga memiliki potensi untuk menyebarkan disinformasi yang merusak integritas budaya. Dengan kemampuan untuk menghasilkan konten palsu, seperti deepfake dan artikel berita palsu, AI dapat digunakan untuk memanipulasi persepsi publik dan mengaburkan kebenaran. Ini sangat merusak dalam konteks perkembangan budaya, di mana sejarah dan tradisi dapat dimanipulasi sehingga terjadi salah dalam memahami esensi kebudayaan. Penyebaran disinformasi ini tidak hanya membahayakan pemahaman kita tentang budaya dan sejarah, tetapi juga dapat menciptakan konflik sosial dan memecah belah masyarakat.

AI juga berpotensi menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya yang sudah lama ada. Ketika AI semakin terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari, ada kekhawatiran bahwa nilai-nilai tradisional, seperti gotong royong, empati, dan kebersamaan, mungkin tergantikan oleh efisiensi teknologi dan kenyamanan instan. Misalnya, dalam masyarakat yang sangat bergantung pada AI, interaksi manusia bisa semakin berkurang, dapat melemahkan ikatan sosial dan mengurangi pentingnya nilai-nilai solidaritas komunitas. Selain itu, keputusan yang sebelumnya didasarkan pada pertimbangan moralitas mungkin akan digantikan oleh algoritma yang kurang mempertimbangkan konteks budaya.

AI dapat memperburuk ketidakadilan budaya dan sosial. Algoritma AI sering kali dirancang dan dilatih berdasarkan data yang bias dari suatu kebudayaan. AI hanya dirancang mentranskripsi budaya secara global, dan membawanya ketika menjabarkan suatu signifikansi nilai sosial. Nilai-nilai kesukuan dalam suatu kebudayaan akan dikaburkan. Padahal nilai inilah yang menjadi ciri khas dari suatu kebudayaan. Pengaburan ini akhirnya berimbas pada penyamarataan budaya yang ada dimana-mana, karena algoritma AI hanya membaca secara global dan mana yang paling menarik untuk dinikmati banyak orang. Akhirnya kebudayaan dirombak menjadi penyeragaman tanpa identitas. Bagi orang yang tidak mengetahui esensi seuatu kebudayaan, teknologi AI akan dianggap kebenaran, padahal dia akan menjadi tools penyesatan.

Bagi orang-orang yang memahami nilai-nilai kesukuan sebagai ciri khas budaya, tidak mudah terpengaruh pada manipulasi apa yang dihasilkan AI. Namun apakah ini akan bertahan sampai mereka tua nanti? Apalagi kebudayaan kadang dibiarkan mengalami stagnasi perkembangan. Akhirnya budaya baru masuk, perlahan mejadi kebiasaan, mudah diakses dan membius banyak orang, tampilan baru yang dianggap lebih bisa menyesuaikan selera dan kebutuhan, murah harganya, dan lebih menarik bentuknya. Generasi mendatanglah yang akan terjerumus dalam jurang kesesatan tafsir budaya asli jika mereka tidak dibekali cara pandang bijak dalam penggunaan teknologi. 

AI dapat menciptakan stereotip baru yang mendekriminasi budaya lama. Misalnya, algoritma pengenalan wajah telah terbukti memiliki bias rasial, yang dapat menimbulkan marginalisasi lebih lanjut terhadap kelompok-kelompok tertentu. AI yang dikembangkan dengan perspektif budaya tertentu tidak sensitif terhadap nilai-nilai dan norma budaya lainnya, yang dapat memperdalam ketidakadilan dan ketegangan sosial di masyarakat multikultural. Akhirnya budaya hanya bisa dibaca algorima secara global. Nilai-nilai kesukuan tertentu berganti menjadi generalisasi tanpa jati diri. Kemudian diparsial menjadi potongan-potongan atau cuplikan singkat dengan kekacauan tafsir baru. Parahnya kita percaya saja dan menyangka itu kebenaran. Kita menyangka itulah fakta budaya dalam interaksi sosial, padahal semua itu hanya budaya ilusi yang menipu dan menyesatkan. 

Budaya AI menjadi wahyu digital dan dianggap kebenaran mutlak oleh kaum bangun kesiangan. Dialektika yang dihasilkan AI akan berbicara menafikan esensi nilai kesukuan. Parahnya lagi apa yang dihasilkan AI dianggap pencerahan terbarukan dalam pengembangan kebudayaan. Budaya instan yang dihadirkan cenderung dimaknai lebih dan over kapasitas oleh kaum rebahan. Akhirnya budaya lama dianggap mengada-ada dan tidak masuk akal. Perlahan generasi sekarang mengalami kesalahan persepsi karena keracunan AI, lalu budaya tandingan muncul kepermukaan dan memenjarakan budaya lama. 

Meskipun AI menawarkan banyak manfaat, penting untuk mengatasi imbas buruknya terhadap budaya. Homogenisasi budaya, ancaman terhadap pekerjaan kreatif, penyebaran disinformasi, erosi nilai-nilai budaya, dan ketidakadilan sosial adalah beberapa tantangan signifikan yang harus dihadapi. Untuk melindungi keragaman dan kekayaan budaya, diperlukan pendekatan yang hati-hati dan etis ketika bersentuhan dengan teknologi AI. 

Kita harus bisa memastikan bahwa AI dirancang dan digunakan dengan memperhatikan sensitivitas budaya dan hak-hak manusia, serta mendorong pelestarian dan inovasi budaya berbasis pada kreativitas dan pengalaman manusia. Karena kreatifitas bukan bias interaksi yang diseragamkan, namun keunikan nilai budaya yang sangat beragam. Kreatifitas lahir dari reproduksi interaksi sosial yang selalu berkembang sejalan perkembangan intelekrualitas dan kreatifitas masyarakatnya. Selalu baru dan dinamis dengan keunikannya. Budaya penyeragaman seperti yang dipersepsi algoritma AI. 

Perlu difahami, AI hanya mendeteksi perintah dan mengidentifikasi budaya secara general. Rancunya suatu budaya ditafsir sama dengan budaya lain yang jauh berbeda. Nilai budaya akan dikaburkan dan menjadi asing ketika ditafsir menjadi kebaruan oleh robot AI. Inilah yang akan menyesatkan jika kita tidak berhati-hati dalam penggunaan teknologi. Kita tidak menolak teknologi apapun, namun harus berhati-hati dalam menggunakannya dalam situasi dan kondisi apapun. Jika tidak, manusia akan dihancurkan oleh robot yang diciptakan manusia sendiri.


Traktir Mbah Dinan kopi klik di sini
atau mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
Hubungi Admin: 0811 5686 886.
Posting Komentar

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda