Ketika Budi Mempersepsi Norma Hidup Kaum Millenial
Dramatari Intan Permate Durjana - Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 30 Desember 2024 di Taman Budaya Kalimantan Barat, saya menonton pertunjukan dramatari karya Budi, M.Sn., yang berjudul Intan Permate Durjana. Cerita diadaptasi dari legenda Batu Menangis dari Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Suatu hal yang menarik dalam karya Budi adalah kemunculan tokoh Kusmindari Triwati, M.Sn., seorang penari kawakan Kalimantan Barat yang banyak membawa nama daerah di tingkat nasional maupun internasional. Kiprahnya dibidang tari melayu daerah Kalbar tidak diragukan lagi. Sosok yang dipanggil Kak Dai ini juga banyak melahirkan seniman muda berprestasi di tingkat daerah maupun nasional.
Ada suatu hal yang menarik untuk ditelaah dalam karya dramatari intan permate durjana, tentang berpindahnya selera kaum muda millenial terhadap suatu tren yang berkembang dizaman modern. Pergeseran selera ini cenderung membawa degradasi norma-norma kehidupan sosial karena terlalu terbawa oleh tren hidup kekinian.
Kerentanan menolak etika lama yang dianggap kuno adalah kemiskinan empati dari kaum millenial, hingga fenomena tersebut membuat banyak kaum rebahan tidak perduli pada kehidupan masyarakat, dan cenderung meninggalkanya jika bertentangan dengan prinsip tren perkembangan.
Pandangan seperti itu wajar saja keluar dari para peneliti fenomena perkembangan sosial, namun dibalik itu semua, kaum millenial juga mengalami degradasi nilai hidup secara sosial. Jika kita telaah lebih dalam, kebanyakan semangat muda juga menggeser nilai-nilai etika dalam kehidupan remaja. Tidak sedikit remaja millenial hidup dengan cara kekinian dan cenderung meninggalkan norma-norma hukum sosial dalam kehidupan yang seharusnya dia jaga.
Kemerosotan nilai hidup bermasyarakat kaum millenial cenderung merujuk pada pola pemikiran untuk berkembang, sehingga segala norma sosial cenderung tidak diperhatikan. Etika hanya dijadikan tolak ukur perkembangan. Jika suatu hukum, atau norma itu menghambat dialektika perkembangan, maka cenderung ditinggal, bahkan tidak dianggap ada dan tidak penting untuk dijalankan.
Kemajemukan perkembangan teknologi kebanyakan tidak sanggup ditampung oleh kaum muda millenial. Perkembangan teknologi cenderung membuat pusing dan menyesatkan dalam pilihan, karena hampir semua fasilitas teknologi menawarkan berbagai kebutuhan dan kecocokan. Berbagai bentuk tampilan terkoneksi, baik melalui media sosial maupun cara penggunaan yang cukup mudah dan menawarkan berbagai pengalaman baru dianggap sebagai standar pemenuhan selera muda.
Mereka mau menggunakan semua teknologi, namun terbatas pada pengetahuan praktikal. Kaum millenial hanya mau menggunakan teknologi yang membuat meraka asik, tapi sebenarnya tidak cocok untuk perkembangan pengetahuan mereka dimasa mendatang. Akhirnya mereka lebih memilih tren teknologi ketimbang melihat kebergunaan teknologi tersebut untuk dirinya.
Efek kebingungan perkembangan teknologi ini membuat dunia tersendiri dalam dunia pergaulan anak muda. Mereka cenderung beralih pada dunia baru dan tidak perduli lagi pada apa yang berkembang dalam masyarakat, yaitu struktur hidup normatif yang dipegang sejak lama dan dianggap sebuah nilai luhur kehidupan itu sendiri. Seperti menghormati orang tua ketika berbicara, menghormati semua pendapat yang membangun dan tidak bertentangan dengan agama, rasa empati kekeluargaan dan kebersamaan, dan banyak lainnya.
Memang tidak semua nilai sosial itu tidak diperdulikan, namun kebanyakan mereka menolak norma dan adab pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat. Penolakan itu ditandai dengan keengganan mereka berbaur dengan kaum tua atau golongan terstruktur dan kesehariannya, terkait dalam lingkungan kemasyarakatan. Kebanyakan kaum millenial menghilang ketika ada gotong royong, rembukan membangun fasilitas lingkungan dan lain sebagainya. Mereka lebih asik bermain gadget dan penejelajahan teknologi.
Dari berbagai kebingungan itulah yang akhirnya menghilangkan jati diri. Banyak kaum millenial yang kebingungan sendiri dalam perkembangan zaman dan teknologi. Dari sinilah banyak bencana mental sosial bermunculan, termasuk tidak dihormatinya lagi orang tua dalam kehidupan.
Dramatari Intan Permate Durjana sebagai Gambaran Penolakan Norma Hidup Kaum Milenial
Dramatari adalah seni pertunjukan yang menggabungkan drama dan tari sebagai medium ekspresi untuk menyampaikan pesan tertentu. Dalam konteks kehidupan kaum milenial dan degradasi nilai sosial, dramatari dapat menjadi alat yang efektif untuk mengkritisi, merefleksikan, dan mengedukasi masyarakat, terutama kaum muda millenial.
Bagi Budi, cerita batu menangis sebanarnya pesan untuk kehidupan anak muda sekarang dalam versi berbeda. Menurtnya, banyak kesamaan kisah yang terjadi sekarang walau dalam idiom berbeda. Budi tidak menolak perkembangan, namun seorang Budi cerdik untuk menampilkan kembali zaman keemasan tradisi lama agar terus dihormati dan dihargai, sebagai bekal kehidupan.
Berbagai degradasi nilai sosial kaum muda kadang tidak cukup hanya disampaikan dalam bentuk nasehat. Mereka tidak dapat menelaah makna yang mendalam kalau hanya dengan kata-kata, karena struktur perkembangan kognisi kabanyakan orang cenderung hanya menangkap pemaknaan sesuatu menurut tampilan yang dianggap mereka menarik. Sedangkan nasehat kebanyakan dianggap membosankan.
Jaring-Jaring Kehidupan memposisikan kaum Milenial rasa nyaman ketika berdampingan dengan dunia Digital. Hal ini banyak membawa manfaat membangun dalam jiwa muda, namun banyak juga yang salah kaprah dalam menafsir perkembangan teknologi dan terlena dalam penggunaannya.
Seorang Budi banyak melihat fenomena ini timbul dan dia merasakan keterpurukan kehidupan ibu masa kini bukan karena tidak menguasai teknologi. Budi merasakan suatu yang sakral itu ditinggalkan, yaitu sebuah rasa penghormatan dalam kehidupannya. Bahkan penghormatan itu sudah pupus dalam sanubari anaknya sendiri.
Perjuangan seorang ibu memang bukan menempati perkembangan ide dalam kemajuan zaman. Namun perjuangan ibu hanya berusaha menyesuaikan dengan kemajuan, namun masih mempertahankan tradisi lama, yaitu norma kehidupan dengan konsep penghormatan. Jika terdapat banyak ibu-ibu gaptek, bukan karena mereka tidak mau tau dengan perkembangan teknlogi, namun mereka lebih memposisikan dirinya dalam usaha menyenangkan anaknya.
Dramatri intan permate durjana diadaptasi dari legenda Batu Menangis, kisah durhaka anak perempuan kepada ibunya. Jika dalam sumber cerita anak lebih memikirkan kecantikan ketimbang memperhatikan adab sosial, merasa tinggi hati karena kecantikan, dan merasa harus dihargai oleh semua golongan tanpa terkecuali, maka dalam cerita dramatari intan permate durjana, Budi lebih memilih menyadurnya pada situasi masa kini.
Pertunjukan dramatari intan permate durjana dimulai langsung pada gambaran kehidupan tradisional yang ditolak, di mana nilai-nilai seperti kebersamaan, penghormatan terhadap orang tua, dan rasa komunitas sudah tergradasi tren kehidupan masa kini. Kemajuan teknologi disalah artikan dan menjadikan tokoh utama lupa diri.
Kehidupan berubah dengan kemunculan teknologi digital. Kaum muda diperkenalkan dengan media sosial, teknologi instan, dan gaya hidup global. Konsep modernitas memaksa kaum muda untuk menjadi penumpang gelap kemajuan zaman. Tari modern dan gerakan maknawi menggambarkan transformasi ini, dengan permainan lampu LED dan proyeksi gerak kontemporer ditampilkan sebagai gambaran dampak perkembnangan zaman dan teknologi.
Karakter utama (seorang milenial) terjebak dalam dunia modernitas yang memaksa mereka bergerak sesuai etika zaman. Meninggalkan pesan-pesan moral yang dianggap bertentangan, menikmati gemerlap kehidupan malam karena siang dianggap sebagai masa rebahan dan bermalas-malasan, mengabaikan nilai-nilai tradisional dan hubungan nyata, lalu terlena dalam pergaulan luas tanpa batas.
Adegan konflik internal diperlihatkan melalui tarian solo dengan ekspresi emosional yang kuat. Properti seperti piring nasi yang ditendang menunjukkan ketidak perdulian kaum muda dengan segala norma dan adat yang berlaku. Bagi mereka semua hanya penghalang dari posisi nyaman yang sebanarnya menenggelamkan kehidupan mereka sendiri. Kamu muda millenial menolak hidup dibatasi, karena menurut mereka itu adalah hak hidup mereka. Hak hidup bebas namun kebablasan tanpa pegangan.
Saya membaca paradoks sebagai bagian antiklimaks, tentang pencarian makna hidup oleh kaum muda, namun salah tafsir dalam menjalani kehidupannya. Hempasan-hempasan zaman memaksa kehidupan itu bergerak cepat dengan berbagai sajian membuat banyak orang terlena namun sekaligus menghancurkan.
Seorang Budi mengolah paradoks dalam komposisi tari karena mengangkat fakta dibalik berbagai penolakan konsep oleh kaum millenial. Pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.
Mengutip dari jurnal ilmiah bahasa dan sastra, yaitu Paradoks dalam Antologi Puisi Rupi Kaur The Sun and Her Flowers oleh I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini, di dalam jurnal ini dijelaskan dari mana istilah paradoks bermula dan apa kegunaan dari paradoks.
Paradoks berasal dari bahasa Yunani, "paradoxon" yang berarti "contrary to expectations, existing belief or perceived opinion." Paradoks menjadi suatu gaya bahasa yang menarik karena mengajak pembaca untuk berpikir lebih luas dan kritis terhadap ungkapan yang disampaikan. Paradoks menampilkan kondisi yang bertentangan tetapi biasanya mengandung kebenaran.
Disini Budi menampilkan paradoks untuk mengungkap gaya hidup ramaja zaman sekarang. Sebuah konsep hidup yang penuh dengan hura-hura dan membenarkan kebebasan hidup setiap individunya. Sebuah konsep yang kebanyakan ditolak, namun benar dalam menampilkan keterpurukan dalam hidupnya.
Begitu tokoh ibu yang diperankan Kusmindari Triwati hadir mengisi ruang komposisi, sebuah paradoks itu berkembang menjadi penggambaran pilu dari kehancuran hidup sianak durhaka. Kemasanan paradoks Budi memang tidak memilih pemaknaan rumit seperti pada pertunjukan umumnya. Budi tidak melebarkan makna kearah yang lebih kompleks, namun memilih penyederhanaan agar mudah difahami penonton.
Posisi Kak Dai bukan hanya menjadi ibu yang terluka karena tingkah laku anaknya. Kecerdasan Budi melibatkan kak Dai sebagai tokoh ibu sebenarnya adalah eksekusi akhir dari apa yang ingin disampaikan dalam dramatari intan permate durjana. Antiklimaks disampaikan dalam bentuk kebingungan tokoh utama dalam pergaulan dengan gaya kekinian, sementara klimaknya disembunyi pada bagian akhir, pada adegan kutukan orang tua, hingga anaknya menjadi batu karena kedurhakaannya.
Jika zaman dulu kutukan itu terasa mujarab, namun zaman sekarang anak muda banyak yang tidak memperdulikan itu. Namun sebenarnya zaman sekarang kutukan itu akan timbul berupa kehancuran hidup dan keterpurukan dalam pergaulan di masyarakat. Banyak anak muda millenial yang akhirnya tidak menjadi apa-apa, bahkan dianggap tidak penting keberadaannya dalam suatu pergaulan. Mereka hanya menjadi korban tren zaman namun hancur dalam kehidupan.
Teknologi dan kemajuan zaman akan banyak membawa keuntungan, namun tidak pernah menyelamatkan. Oleh karena itu antara kemajuan dan keselamatan harus berjalan seimbang dalam kehidupan, agar kehidupan itu bisa aman dan nyaman. Agar hidup tidak sesat di rimba kemajuan zaman dan hancur karena salah tafsir terhadap nilai atau norma kehidupan. Sisanya silahkan dipikirkan.
Suatu hal yang menarik dalam karya Budi adalah kemunculan tokoh Kusmindari Triwati, M.Sn., seorang penari kawakan Kalimantan Barat yang banyak membawa nama daerah di tingkat nasional maupun internasional. Kiprahnya dibidang tari melayu daerah Kalbar tidak diragukan lagi. Sosok yang dipanggil Kak Dai ini juga banyak melahirkan seniman muda berprestasi di tingkat daerah maupun nasional.
Ada suatu hal yang menarik untuk ditelaah dalam karya dramatari intan permate durjana, tentang berpindahnya selera kaum muda millenial terhadap suatu tren yang berkembang dizaman modern. Pergeseran selera ini cenderung membawa degradasi norma-norma kehidupan sosial karena terlalu terbawa oleh tren hidup kekinian.
Kerentanan menolak etika lama yang dianggap kuno adalah kemiskinan empati dari kaum millenial, hingga fenomena tersebut membuat banyak kaum rebahan tidak perduli pada kehidupan masyarakat, dan cenderung meninggalkanya jika bertentangan dengan prinsip tren perkembangan.
Sebelum kita lanjut, sebaiknya kita pisahkan dulu kaum millenial pada posisi trend setter dan kaum millenial follower. Saya tidak mau Anda mengira kaum millenial secara keseluruhan, namun yang kita bicarakan adalah kaum millenial korban trend tanpa filter, yang main hantam kromo terhadap perkembangan tanpa pilih-pilih mana yang cocok untuk kehidupan pribadi dan tidak bertentangan dengan norma agama serta kehidupan masyarakatnya. Millenial trend setter cenderung memberikan kontribusi fositif terhadap perkembangan zaman dengan karya kreatif dan inovatifnya. Sementara kaum millenial follower hanya pengguna salah kaprah, sampai menimbulkan kehancuran buat dirinya sendiri.
Degrdasi Norma Sosial dalam Pergaulan Kaum Millenial
Kebanyakan orang menyoroti fenomena sosial remaja millenial adalah sebuah semangat muda yang cenderung bergerak dalam pembaruan. Sebuah ide baru kreatif untuk mengisi pembangunan diberbagai bidang, berjalan seiring perkembangan zaman dan inovatif.Pandangan seperti itu wajar saja keluar dari para peneliti fenomena perkembangan sosial, namun dibalik itu semua, kaum millenial juga mengalami degradasi nilai hidup secara sosial. Jika kita telaah lebih dalam, kebanyakan semangat muda juga menggeser nilai-nilai etika dalam kehidupan remaja. Tidak sedikit remaja millenial hidup dengan cara kekinian dan cenderung meninggalkan norma-norma hukum sosial dalam kehidupan yang seharusnya dia jaga.
Kemerosotan nilai hidup bermasyarakat kaum millenial cenderung merujuk pada pola pemikiran untuk berkembang, sehingga segala norma sosial cenderung tidak diperhatikan. Etika hanya dijadikan tolak ukur perkembangan. Jika suatu hukum, atau norma itu menghambat dialektika perkembangan, maka cenderung ditinggal, bahkan tidak dianggap ada dan tidak penting untuk dijalankan.
Kemajemukan perkembangan teknologi kebanyakan tidak sanggup ditampung oleh kaum muda millenial. Perkembangan teknologi cenderung membuat pusing dan menyesatkan dalam pilihan, karena hampir semua fasilitas teknologi menawarkan berbagai kebutuhan dan kecocokan. Berbagai bentuk tampilan terkoneksi, baik melalui media sosial maupun cara penggunaan yang cukup mudah dan menawarkan berbagai pengalaman baru dianggap sebagai standar pemenuhan selera muda.
Mereka mau menggunakan semua teknologi, namun terbatas pada pengetahuan praktikal. Kaum millenial hanya mau menggunakan teknologi yang membuat meraka asik, tapi sebenarnya tidak cocok untuk perkembangan pengetahuan mereka dimasa mendatang. Akhirnya mereka lebih memilih tren teknologi ketimbang melihat kebergunaan teknologi tersebut untuk dirinya.
Efek kebingungan perkembangan teknologi ini membuat dunia tersendiri dalam dunia pergaulan anak muda. Mereka cenderung beralih pada dunia baru dan tidak perduli lagi pada apa yang berkembang dalam masyarakat, yaitu struktur hidup normatif yang dipegang sejak lama dan dianggap sebuah nilai luhur kehidupan itu sendiri. Seperti menghormati orang tua ketika berbicara, menghormati semua pendapat yang membangun dan tidak bertentangan dengan agama, rasa empati kekeluargaan dan kebersamaan, dan banyak lainnya.
Memang tidak semua nilai sosial itu tidak diperdulikan, namun kebanyakan mereka menolak norma dan adab pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat. Penolakan itu ditandai dengan keengganan mereka berbaur dengan kaum tua atau golongan terstruktur dan kesehariannya, terkait dalam lingkungan kemasyarakatan. Kebanyakan kaum millenial menghilang ketika ada gotong royong, rembukan membangun fasilitas lingkungan dan lain sebagainya. Mereka lebih asik bermain gadget dan penejelajahan teknologi.
Dari berbagai kebingungan itulah yang akhirnya menghilangkan jati diri. Banyak kaum millenial yang kebingungan sendiri dalam perkembangan zaman dan teknologi. Dari sinilah banyak bencana mental sosial bermunculan, termasuk tidak dihormatinya lagi orang tua dalam kehidupan.
Dramatari Intan Permate Durjana sebagai Gambaran Penolakan Norma Hidup Kaum Milenial
Dramatari adalah seni pertunjukan yang menggabungkan drama dan tari sebagai medium ekspresi untuk menyampaikan pesan tertentu. Dalam konteks kehidupan kaum milenial dan degradasi nilai sosial, dramatari dapat menjadi alat yang efektif untuk mengkritisi, merefleksikan, dan mengedukasi masyarakat, terutama kaum muda millenial.
Bagi Budi, cerita batu menangis sebanarnya pesan untuk kehidupan anak muda sekarang dalam versi berbeda. Menurtnya, banyak kesamaan kisah yang terjadi sekarang walau dalam idiom berbeda. Budi tidak menolak perkembangan, namun seorang Budi cerdik untuk menampilkan kembali zaman keemasan tradisi lama agar terus dihormati dan dihargai, sebagai bekal kehidupan.
Berbagai degradasi nilai sosial kaum muda kadang tidak cukup hanya disampaikan dalam bentuk nasehat. Mereka tidak dapat menelaah makna yang mendalam kalau hanya dengan kata-kata, karena struktur perkembangan kognisi kabanyakan orang cenderung hanya menangkap pemaknaan sesuatu menurut tampilan yang dianggap mereka menarik. Sedangkan nasehat kebanyakan dianggap membosankan.
Jaring-Jaring Kehidupan memposisikan kaum Milenial rasa nyaman ketika berdampingan dengan dunia Digital. Hal ini banyak membawa manfaat membangun dalam jiwa muda, namun banyak juga yang salah kaprah dalam menafsir perkembangan teknologi dan terlena dalam penggunaannya.
Seorang Budi banyak melihat fenomena ini timbul dan dia merasakan keterpurukan kehidupan ibu masa kini bukan karena tidak menguasai teknologi. Budi merasakan suatu yang sakral itu ditinggalkan, yaitu sebuah rasa penghormatan dalam kehidupannya. Bahkan penghormatan itu sudah pupus dalam sanubari anaknya sendiri.
Perjuangan seorang ibu memang bukan menempati perkembangan ide dalam kemajuan zaman. Namun perjuangan ibu hanya berusaha menyesuaikan dengan kemajuan, namun masih mempertahankan tradisi lama, yaitu norma kehidupan dengan konsep penghormatan. Jika terdapat banyak ibu-ibu gaptek, bukan karena mereka tidak mau tau dengan perkembangan teknlogi, namun mereka lebih memposisikan dirinya dalam usaha menyenangkan anaknya.
Alur Cerita sebagai Refleksi Konflik Kehidupan Kaum Millenial
Alur Cerita dalam dramatari Intan Permate Durjana lebih ditekankan pada alur maju. Pemilihan alur adalah refleksi Era Keemasan Tradisi dengan segala penghormatan dan penghargaan dalam hidup manusia. Segala sesuatu ada aturan yang membuat batasan, sehingga hidup dianggap nilai antara “boleh dan tidak boleh” dilakukan menurut norma, termasuk norma agama dalam kehidupan masyarakat dimana cerita ini bermula.Dramatri intan permate durjana diadaptasi dari legenda Batu Menangis, kisah durhaka anak perempuan kepada ibunya. Jika dalam sumber cerita anak lebih memikirkan kecantikan ketimbang memperhatikan adab sosial, merasa tinggi hati karena kecantikan, dan merasa harus dihargai oleh semua golongan tanpa terkecuali, maka dalam cerita dramatari intan permate durjana, Budi lebih memilih menyadurnya pada situasi masa kini.
Pertunjukan dramatari intan permate durjana dimulai langsung pada gambaran kehidupan tradisional yang ditolak, di mana nilai-nilai seperti kebersamaan, penghormatan terhadap orang tua, dan rasa komunitas sudah tergradasi tren kehidupan masa kini. Kemajuan teknologi disalah artikan dan menjadikan tokoh utama lupa diri.
Kehidupan berubah dengan kemunculan teknologi digital. Kaum muda diperkenalkan dengan media sosial, teknologi instan, dan gaya hidup global. Konsep modernitas memaksa kaum muda untuk menjadi penumpang gelap kemajuan zaman. Tari modern dan gerakan maknawi menggambarkan transformasi ini, dengan permainan lampu LED dan proyeksi gerak kontemporer ditampilkan sebagai gambaran dampak perkembnangan zaman dan teknologi.
Karakter utama (seorang milenial) terjebak dalam dunia modernitas yang memaksa mereka bergerak sesuai etika zaman. Meninggalkan pesan-pesan moral yang dianggap bertentangan, menikmati gemerlap kehidupan malam karena siang dianggap sebagai masa rebahan dan bermalas-malasan, mengabaikan nilai-nilai tradisional dan hubungan nyata, lalu terlena dalam pergaulan luas tanpa batas.
Adegan konflik internal diperlihatkan melalui tarian solo dengan ekspresi emosional yang kuat. Properti seperti piring nasi yang ditendang menunjukkan ketidak perdulian kaum muda dengan segala norma dan adat yang berlaku. Bagi mereka semua hanya penghalang dari posisi nyaman yang sebanarnya menenggelamkan kehidupan mereka sendiri. Kamu muda millenial menolak hidup dibatasi, karena menurut mereka itu adalah hak hidup mereka. Hak hidup bebas namun kebablasan tanpa pegangan.
Kemunculan Tokoh Kusmindari Triwati sebagai Hakim Adil dalam Kehidupan
Suatu hal menarik dalam dramatari intan permate durjana adalah kemunculan tokoh seniman kawakan yang berperan menjadi Ibu. Peran ibu dengan segala ketabahan dan kasih sayang menghidupi anaknya yang kian liar dan sesat dalam pengaruh zaman.Saya membaca paradoks sebagai bagian antiklimaks, tentang pencarian makna hidup oleh kaum muda, namun salah tafsir dalam menjalani kehidupannya. Hempasan-hempasan zaman memaksa kehidupan itu bergerak cepat dengan berbagai sajian membuat banyak orang terlena namun sekaligus menghancurkan.
Seorang Budi mengolah paradoks dalam komposisi tari karena mengangkat fakta dibalik berbagai penolakan konsep oleh kaum millenial. Pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.
Mengutip dari jurnal ilmiah bahasa dan sastra, yaitu Paradoks dalam Antologi Puisi Rupi Kaur The Sun and Her Flowers oleh I Gusti Agung Sri Rwa Jayantini, di dalam jurnal ini dijelaskan dari mana istilah paradoks bermula dan apa kegunaan dari paradoks.
Paradoks berasal dari bahasa Yunani, "paradoxon" yang berarti "contrary to expectations, existing belief or perceived opinion." Paradoks menjadi suatu gaya bahasa yang menarik karena mengajak pembaca untuk berpikir lebih luas dan kritis terhadap ungkapan yang disampaikan. Paradoks menampilkan kondisi yang bertentangan tetapi biasanya mengandung kebenaran.
Disini Budi menampilkan paradoks untuk mengungkap gaya hidup ramaja zaman sekarang. Sebuah konsep hidup yang penuh dengan hura-hura dan membenarkan kebebasan hidup setiap individunya. Sebuah konsep yang kebanyakan ditolak, namun benar dalam menampilkan keterpurukan dalam hidupnya.
Begitu tokoh ibu yang diperankan Kusmindari Triwati hadir mengisi ruang komposisi, sebuah paradoks itu berkembang menjadi penggambaran pilu dari kehancuran hidup sianak durhaka. Kemasanan paradoks Budi memang tidak memilih pemaknaan rumit seperti pada pertunjukan umumnya. Budi tidak melebarkan makna kearah yang lebih kompleks, namun memilih penyederhanaan agar mudah difahami penonton.
Posisi Kak Dai bukan hanya menjadi ibu yang terluka karena tingkah laku anaknya. Kecerdasan Budi melibatkan kak Dai sebagai tokoh ibu sebenarnya adalah eksekusi akhir dari apa yang ingin disampaikan dalam dramatari intan permate durjana. Antiklimaks disampaikan dalam bentuk kebingungan tokoh utama dalam pergaulan dengan gaya kekinian, sementara klimaknya disembunyi pada bagian akhir, pada adegan kutukan orang tua, hingga anaknya menjadi batu karena kedurhakaannya.
Jika zaman dulu kutukan itu terasa mujarab, namun zaman sekarang anak muda banyak yang tidak memperdulikan itu. Namun sebenarnya zaman sekarang kutukan itu akan timbul berupa kehancuran hidup dan keterpurukan dalam pergaulan di masyarakat. Banyak anak muda millenial yang akhirnya tidak menjadi apa-apa, bahkan dianggap tidak penting keberadaannya dalam suatu pergaulan. Mereka hanya menjadi korban tren zaman namun hancur dalam kehidupan.
Epilog pilu sebagai pembelajaran
Kisah batu menangis memang hanya sebuah legenda, namun di balik legenda tersebut ada pesan moral yang tidak pernah usang dan tetap harus difahami sebagai modal hidup kaum muda zaman sekarang. Sebuah kehidupan tanpa moral tidak akan berakibat langsung, tapi akan menyingkirkan kehidupan kaum muda pada keterpurukan. Hidup itu memang tidak sekeras yang banyak diceritakan orang. Namun efek kehidupan tanpa menjunjung tinggi norma, akan disingkirkan.Teknologi dan kemajuan zaman akan banyak membawa keuntungan, namun tidak pernah menyelamatkan. Oleh karena itu antara kemajuan dan keselamatan harus berjalan seimbang dalam kehidupan, agar kehidupan itu bisa aman dan nyaman. Agar hidup tidak sesat di rimba kemajuan zaman dan hancur karena salah tafsir terhadap nilai atau norma kehidupan. Sisanya silahkan dipikirkan.
Traktir Mbah Dinan kopi klik di sini
atau mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
LIHAT ALAT MUSIK MELAYU
Hubungi Admin: 0811 5686 886.
atau mau beli alat musik Kalimantan?
LIHAT ALAT MUSIK DAYAK
LIHAT ALAT MUSIK MELAYU
Hubungi Admin: 0811 5686 886.
Kategori :
renungan,
- Ketika Budi Mempersepsi Norma Hidup Kaum Millenial - - Powered by Blogger. Jika ingin menyebarluaskan atau mengcopy paste artikel Ketika Budi Mempersepsi Norma Hidup Kaum Millenial, harap menyertakan link artikel ini sebagai sumbernya. Terima kasih.